Di hadapan mahalnya biaya kuliah. Sebuah pilihan sulit kerap muncul. Satu tombol bisa terasa seperti jawaban. Namun keputusan sebenarnya jauh lebih rumit dari sekadar satu klik.
Layar laptop menyala terang. Menampilkan dua belas juta rupiah. Angka itu adalah tembok. Almira menatapnya lekat. Ini bukan tentang tugas kuliahnya.Â
Ini tentang masa depan Asih, adiknya. Wajah penuh harap Asih seakan terpantul di permukaan layar yang gelap.
Angka Rp 12.000.000 itu terasa kejam. Bagi orang dengan keuangan seperti dirinya. Denyut tajam terasa di pelipis Almira.
Ia menghirup napas pelan, mencium aroma kopi sisa semalam. Ibu di kampung sudah coba. Tapi jalan terasa buntu.
Tiba-tiba, sebuah pop-up muncul di laman berikutnya. 'Solusi Cerdas Pendidikan.' Tawarannya menggiurkan. Terlihat seperti satu-satunya jalan keluar. Sebuah pintu yang terbuka di tengah tembok.
Harapan melawan ketakutan. Kursor mouse bergerak ragu di atas tetikus yang licin. Mendekati tombol 'Ajukan Sekarang'. Setiap milimeter pergerakan terasa begitu berat. Ini keputusan puluhan juta.Â
Jari telunjuk Almira menggantung. Tepat di atas tombol klik kiri mouse. Satu tekanan kecil. Bisa mengubah segalanya. Untuk Asih. Untuk keluarganya.
Pintu Harapan atau Paradoks Berbahaya?
Menjerat generasi produktif dengan utang. Untuk mengakses pendidikan tinggi adalah paradoks berbahaya. Wacana student loan di Indonesia.Â
Meski terdengar sebagai solusi cepat. Berisiko tinggi memindahkan beban kegagalan sistemik kepada individu (EMEDIA DPR RI, 2024).