Korupsi merupakan salah satu masalah krusial yang terus menggerogoti fondasi pembangunan di Indonesia. Meski berbagai upaya pemberantasan telah dilakukan, praktik korupsi masih saja terjadi di berbagai sektor. Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga tindakan yang berdampak sistemik terhadap kehidupan sosial, ekonomi, hingga politik. Mengapa permasalahan korupsi ini tidak kunjung mendapatkan titik terang, apa aparatur negara yang tutup mata dengan masalah ini, atau dengan pemerintahan yang hobi menggerogoti uang rakyatnya demi kepentingan pribadinya.
Selama satu dekade terakhir, korupsi di Indonesia terus menjadi masalah yang kompleks dan mengakar. Berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tren korupsi cenderung meningkat secara signifikan, terutama dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2023 saja, tercatat sedikitnya 791 kasus korupsi yang melibatkan 1.695 tersangka. Angka ini mencerminkan lonjakan tajam dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, menandakan bahwa korupsi masih menjadi tantangan serius bagi sistem hukum dan pemerintahan Indonesia.nBerdasarkan data dari ICW dan KPK terdapat 4680 kasus korupsi dari tahun 2015 hingga 2024. Dengan angka korupsi sebesar Rp.253,39 triliun.
Jika dilihat dari sisi kerugian negara, dampaknya pun tidak bisa dianggap remeh. Dalam kurun waktu 2016 hingga 2021, sektor pendidikan mengalami kerugian sekitar Rp1,6 triliun akibat praktik korupsi. Tak berhenti di situ, salah satu skandal besar yang mencuat ke publik adalah kasus pengadaan Chromebook untuk sekolah yang terjadi pada 2019 hingga 2023. Kasus ini menimbulkan kerugian negara mencapai Rp9,9 triliun, sekaligus menggambarkan bagaimana sektor pendidikan yang seharusnya mencerdaskan bangsa justru menjadi ladang praktik korupsi.
Di luar sektor pendidikan, terdapat pula kasus mega korupsi di tubuh Pertamina. Dalam periode 2018 hingga 2023, kasus ini diperkirakan merugikan negara hingga Rp193,7 triliun, menjadikannya salah satu skandal korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia modern. Dari sisi persepsi publik dan internasional, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia juga menunjukkan posisi yang masih mengkhawatirkan. Pada tahun 2024, skor IPK Indonesia tercatat sebesar 37 dari 100, menempatkan Indonesia di peringkat 99 dari 180 negara di dunia. Skor ini sekaligus mencerminkan bahwa upaya pemberantasan korupsi belum memberikan hasil yang signifikan di mata masyarakat dan komunitas internasional.
Secara keseluruhan, periode 2015 hingga 2025 menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia bukan hanya tetap tinggi, tetapi juga semakin merugikan negara baik dari segi jumlah kasus maupun nilai kerugian. Kenaikan signifikan kasus sejak tahun 2019 menjadi tanda bahwa perlawanan terhadap korupsi harus terus diperkuat, bukan hanya melalui penegakan hukum, tetapi juga melalui pembenahan sistem dan budaya integritas di berbagai sektor.
Dalam sepuluh tahun terakhir (2015--2025), berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), total kerugian negara akibat korupsi mencapai sekitar Rp253,39 triliun. Dana sebesar ini seharusnya dapat digunakan untuk memperkuat sektor-sektor vital, terutama pendidikan tinggi. Jika seluruh dana tersebut dialokasikan untuk membiayai pendidikan sarjana secara penuh, berapa banyak mahasiswa yang dapat dibiayai?
Biaya pendidikan sarjana di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), termasuk biaya kuliah dan hidup selama 4 tahun, diperkirakan berkisar antara Rp80 juta hingga Rp210 juta per mahasiswa. Untuk membuat simulasi moderat, penulis mengambil rata-rata biaya total studi sarjana sebesar Rp120 juta per mahasiswa (sudah termasuk UKT, tempat tinggal, konsumsi, dan transportasi selama 8 semester).
Dengan korupsi sebesar Rp253,39 triliun, jika dialokasikan seluruhnya untuk kepentingan Pendidikan, maka negara bisa memfasilitasi 2.111.583 mahasiswa jenjang S1 dan setingkat untuk mendapatkan Pendidikan yang layak dan gratis. Pada tahun 2025 jumlah peserta SNBT (Seleksi nasional berdasarkan tes) 860.976 peserta, yang berarti jika keuangan negara tidak di korupsi dan seluruhnya dialokasikan ke Lembaga Pendidikan (perguruan tinggi) maka akan ada kurang lebih 3 angkatan tenaga kerja yang mendapatkan Pendidikan di jenjang S1 dan setingkat. Tentu dengan Pendidikan yang mumpuni masa depan Indonesia emas 2045 tidak hanya menjadi mimpi belaka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI