Mohon tunggu...
Aida Fitriana
Aida Fitriana Mohon Tunggu... Pustakawan - Mahasiswa

Apapun yg kita kerjakan, harus ada kesungguhan di dalamnya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sebuah Desa yang Selalu Melestarikan Tradisi Haul dan Nyadran Kubur

13 Juni 2019   06:44 Diperbarui: 13 Juni 2019   07:07 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Manusia pasti mempunyai keyakinan masing-masing yang pada dasarnya sudah menjadi pegangan hidup bagi umat manusia. Masyarakat sendiri memang seharusnya menjalin toleransi yang baik kepada semua agama. Karena pada umumnya, semua agama mengacu pada tujuannya yaitu Tuhan (Allah) serta puncaknya dari seorang pemeluk agama merupakan keimanan dari individu itu sendiri.

Di Indonesia mayoritas adalah pemeluk agama Islam, agama Islam mengajarkan kebaikan kepada semua orang seperti halnya agama lain. Saling bertoleransi, menghargai, serta menyebarkan hal-hal positif di sekitar kita. Suatu keyakinan yang menjadi sandaran setiap manusia, yang dapat berpegang teguh pada sistem aturan Tuhan. 

Terkhusus dalam agama Islam, dulunya pada masa era orde lama mempunyai kelompok Islam yang bernama Tradisional dan Modernis. Dalam tokohnya dipengaruhi oleh Bung Hatta yang menolak suatu keberatan atas non-muslim karena terdapat realitas yang sifatnya pluralis dalam masyarakat Indonesia. 

Dengan begitu Presiden pertama Indonesia, yaitu Soekarno mengikuti saran oleh K.H. Wahid Hasyim dalam menambah sila pertama pancasila, yang awalnya hanya "kepercayaan kepada Tuhan" menjado 'Ketuhanan yang Maha Esa". Hal tersebut tidak sekedar mengganti kekecewaan umat Islam, namun juga sebagai bentuk legitimasi larangan aliran atau kepercayaan animisme, politheisme, sebagai suatu pilihan kepercayaan warga negara (Yahya, 2017: 36).

Indonesia sebagai mayoritas masyarakat Islam mempunyai nama lain yang dianggap penting dalam sepanjang sejarah, Islam Nusantara namanya. Islam Nusantara sendiri memposisikan Islam sebagai sistem nilai, teologi, fiqih ubuddiyah yang mempengaruhi budaya Indonesia dengan karakteristik tertentu (Luthfi, 2016: 10). 

Karakteristik Islam masuk ke Indonesia tentu saja tidak membawa apa-apa dengan tangan kosong. Salah satu penyebar Islam dengan caranya berdakwah yang berada di tanah jawa yaitu Walisongo.

Walisongo dalam era-nya di tandai dengan berakhirnya dominasi Hindu dan Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut daripada yang lain (Kholid, 2016: 20). 

Walisongo menyangking banyak kebudayaan Islam untuk di sebarkan di Indonesia salah satunya dengan membawa tradisi-tradisi Islam. Dari tradisi tersebut dikembangkan lagi ke dalam suatu budaya masyarakat Islam yang diyakini sebagai sakralitas umat muslim seperti memperingati bulan-bulan besar Islam. Misalnya ada peringatan Maulud Nabi, Isra' Mi'raj, Tahun Baru Islam 1 Muharram dan lain sebagainya. 

Dari peringatan hari besar Islam di dalamnya terkandung beberapa tradisi dalam rangka menyemarakkan acara tersebut, diantaranya terdapat tradisi Nyadran Kubur atau bisa disebut Ziarah Kubur dan Haul.

Dilihat dari Tradisi Nyadran dan Haul itu merupakan akulturasi antara aspek keislaman dengan kebudaaan jawa. Kata Nyadran atau Sadranan merupakan suatu kegiatan masyarakat untuk mendo'akan leluhurnya yang telah tiada dengan mebawakan bunga, air maupun menyan. 

Nyadran pada suatu desa sudah menjadi budaya yang kental, maka dari itu seperti peringatan Isra' Mi'raj selalu diadakan tradisi nyadran kubur setiap tahunnya, dengan prosesi di waktu pagi para masyarakat berziarah di makam nenek moyangnya yang telah meninggal lalu dilanjut dengan pengajian yang dihadiri oleh masyarakat sekitar maupun umum. 

Dari kalangan masyarakat asli di desa tersebut mempunyai tradisi tersendiri untuk membuat acara pengajian itu lebih khidmat, yaitu dengan cara "Metokke" dalam bahasa Indonesia adalah Mengeluarkan, yang artinya setiap orang membawa hasil masakan dari rumah lalu dikumpulkan dalam satu tempat di brak makam kemudian selesai pengajian, makanan tersebut dibagi-bagikan pada seluruh masyarakat yang mengikuti tradisi nyadran kubur dan pengajian tersebut. 

Tradisi ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat Islam di Jawa dengan memberikan nilai-nilai religiusitas yang tinggi, menjadikan masyarakat menjadi lebih sadar akan kehidupan di dunia dan di akhirat nanti, dapat menjadikan wadah masyarakat untuk saling menjaga budaya yang telah ada tanpa menghilangkan nilai dari tujuan budaya jawa tersebut yang telah menjadi tradisi.

Sedangkan tradisi haul yang biasanya menjadi kegiatan rutin umat Islam setiap tahunnya hampir sama dengan tujuan Nyadran kubur tersebut. Hanya saja Haul disini khususnya dalam sebuah desa merupakan kegiatan memperingati tahun wafatnya atau kematian leluluhur para tokoh Nusantara ataupun tokoh ulama di lingkungannya (Kyai atau Syekh) yang mungkin dapat diteladani sifat dan sikap dari sejarah kehidupannya dalam hal ibadah maupun muamalahnya. 

Di dalamnya para masyarakat membacakan do'a, membaca sholawat, bahkan membacakan ayat-ayat suci al-Qur'an lalu diakhiri dengan kegiatan dalam bahasa Jawa "Slametan" (Selamatan) yang artinya selamat, salah satu adat jawa yang dilakukan dalam bentuk rasa syukur atas nikmat dan karunia yang diberikan kepada Allah. Atas bentuk rasa syukur tersebut masyarakat biasanya memulainya dengan do'a bersama lalu duduk melingkar mengitari nasi gunungan (tumpeng), jajanan atau suguhan makanan lainnya.

Dalam tradisi Haul, susbtansinya adalah ekspressi rasa cinta, mengenang dan melestarikan perjuangan tokoh yang telah tiada; yang satu adalah tokoh universal yaitu seprti Rasulullah Muhammad SAW, dan yang kedua adalah tokoh lokal. Jika untuk Nabi, simbol peringatan adalah kelahiran, maka untuk tokoh lokal, simbolnya adalah kematian. Namun substansinya hampir sama, mengacu pada pengungkapan kembali kehidupan sang tokoh (Ahmad, 1997: 14).

Desa yang selalu menjaga tradisi tersebut umumnya cenderung memiliki rasa solidaritas yang tinggi antar masyarakatnya. Karena di dalamnya umat Islam sendiri para tokoh-tokoh muslim selalu mewariskan wejangan kepada para pemuda untuk selalu menguri-uri (melestarikan) budaya dan tradisi yang ada di tanah jawa dan pada kepercayaan Islam yang ditujukan khususnya generasi penerus bangsa. Hal tersebut menjadi kebiasaan orang zaman dahulu untuk melaksanakan adat istiadatnya di daerah-daerahnya dengan tujuan menghormati dan menghargai jasa-jasa para leluhur atau orang tua di masa lalu.

Penganut agama Islam di Jawa masih menjaga kelestarian budayanya walau di masa sekarang banyak masuknya kehidupan modern dan budaya-budaya asing yang muncul. Datangnya Islam di tanah Jawa membawa dampak baik bagi masyarakat, khususnya dalam hal religiusitas akan kepercayaan kepada Tuhan. 

Para tokoh Islam yang menyebarkan tradisi-tradisi atas dasar syariat Islam tersebut mempunyai cara tersendiri dalam menggandeng masyarakat untuk dapat mempunyai berbagai tradisi dan kebudayaan yang banyak serta mempunyai sisi positif dan nilai-nilai baik di dalamnya. 

Dilihat dari nilai agama, budaya dan sosial, tradisi Nyadran dan Haul mempunyai aspek penting dalam nilai keibadahan dengan tujuan mendekatkan diri pada Allah SWT, dengan mempuyai rasa wajib menjalankan dan mempertahankan tradisi sehingga memunculkan nilai-nilai kekeluargaan antar umat dan masyarakat yang memiliki nilai kebersamaan berupa toleransi antar sesama manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun