Dari kalangan masyarakat asli di desa tersebut mempunyai tradisi tersendiri untuk membuat acara pengajian itu lebih khidmat, yaitu dengan cara "Metokke" dalam bahasa Indonesia adalah Mengeluarkan, yang artinya setiap orang membawa hasil masakan dari rumah lalu dikumpulkan dalam satu tempat di brak makam kemudian selesai pengajian, makanan tersebut dibagi-bagikan pada seluruh masyarakat yang mengikuti tradisi nyadran kubur dan pengajian tersebut.Â
Tradisi ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat Islam di Jawa dengan memberikan nilai-nilai religiusitas yang tinggi, menjadikan masyarakat menjadi lebih sadar akan kehidupan di dunia dan di akhirat nanti, dapat menjadikan wadah masyarakat untuk saling menjaga budaya yang telah ada tanpa menghilangkan nilai dari tujuan budaya jawa tersebut yang telah menjadi tradisi.
Sedangkan tradisi haul yang biasanya menjadi kegiatan rutin umat Islam setiap tahunnya hampir sama dengan tujuan Nyadran kubur tersebut. Hanya saja Haul disini khususnya dalam sebuah desa merupakan kegiatan memperingati tahun wafatnya atau kematian leluluhur para tokoh Nusantara ataupun tokoh ulama di lingkungannya (Kyai atau Syekh) yang mungkin dapat diteladani sifat dan sikap dari sejarah kehidupannya dalam hal ibadah maupun muamalahnya.Â
Di dalamnya para masyarakat membacakan do'a, membaca sholawat, bahkan membacakan ayat-ayat suci al-Qur'an lalu diakhiri dengan kegiatan dalam bahasa Jawa "Slametan" (Selamatan) yang artinya selamat, salah satu adat jawa yang dilakukan dalam bentuk rasa syukur atas nikmat dan karunia yang diberikan kepada Allah. Atas bentuk rasa syukur tersebut masyarakat biasanya memulainya dengan do'a bersama lalu duduk melingkar mengitari nasi gunungan (tumpeng), jajanan atau suguhan makanan lainnya.
Dalam tradisi Haul, susbtansinya adalah ekspressi rasa cinta, mengenang dan melestarikan perjuangan tokoh yang telah tiada; yang satu adalah tokoh universal yaitu seprti Rasulullah Muhammad SAW, dan yang kedua adalah tokoh lokal. Jika untuk Nabi, simbol peringatan adalah kelahiran, maka untuk tokoh lokal, simbolnya adalah kematian. Namun substansinya hampir sama, mengacu pada pengungkapan kembali kehidupan sang tokoh (Ahmad, 1997: 14).
Desa yang selalu menjaga tradisi tersebut umumnya cenderung memiliki rasa solidaritas yang tinggi antar masyarakatnya. Karena di dalamnya umat Islam sendiri para tokoh-tokoh muslim selalu mewariskan wejangan kepada para pemuda untuk selalu menguri-uri (melestarikan) budaya dan tradisi yang ada di tanah jawa dan pada kepercayaan Islam yang ditujukan khususnya generasi penerus bangsa. Hal tersebut menjadi kebiasaan orang zaman dahulu untuk melaksanakan adat istiadatnya di daerah-daerahnya dengan tujuan menghormati dan menghargai jasa-jasa para leluhur atau orang tua di masa lalu.
Penganut agama Islam di Jawa masih menjaga kelestarian budayanya walau di masa sekarang banyak masuknya kehidupan modern dan budaya-budaya asing yang muncul. Datangnya Islam di tanah Jawa membawa dampak baik bagi masyarakat, khususnya dalam hal religiusitas akan kepercayaan kepada Tuhan.Â
Para tokoh Islam yang menyebarkan tradisi-tradisi atas dasar syariat Islam tersebut mempunyai cara tersendiri dalam menggandeng masyarakat untuk dapat mempunyai berbagai tradisi dan kebudayaan yang banyak serta mempunyai sisi positif dan nilai-nilai baik di dalamnya.Â
Dilihat dari nilai agama, budaya dan sosial, tradisi Nyadran dan Haul mempunyai aspek penting dalam nilai keibadahan dengan tujuan mendekatkan diri pada Allah SWT, dengan mempuyai rasa wajib menjalankan dan mempertahankan tradisi sehingga memunculkan nilai-nilai kekeluargaan antar umat dan masyarakat yang memiliki nilai kebersamaan berupa toleransi antar sesama manusia.