Mohon tunggu...
Ahyarros
Ahyarros Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dari TKI, Kuliah hingga Jadi Pegiat Perdamaian

9 Agustus 2021   10:57 Diperbarui: 13 Agustus 2021   08:32 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama Sekolah Perempuan Perdamaian di Poso, Sulteng (Foto Ahyarros)

Sebelum kuliah S1 di UIN Mataram, tiga tahun lamanya, saya menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Malaysia, pilihan ini saya ambil agar bisa kuliah. Mustahil bagi orangtua saat itu bisa menyekolahkan kami, tanpa saya harus merantau ke negeri jiran.  Selesai studi S1, saya pernah bekerja di NGO perdamaian dan aktif di komunitas literasi. Lewat dua isu ini, saya berkontribusi dalam isu perdamaian dan mendorong penguatan literasi bagi anak-anak kampung di Lombok.        

Tepatnya 1985, saya lahirkan di Dusun Sangupati, Desa Mengkuru, Kecamatan Sakra Barat, Lombok Timur Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Saya adalah anak paling bungsu dari 4 bersaudara, kami dibesarkan oleh hasil pertanian dan upah buruh tani di sawah tetangga kampung. Orangtua, kami punya sepetak tanah peninggalan kakek, yang luasnya berkisaran 30 are. Dari hasil sawah inilah, bapak dan ibu mensiasati kebutuhan 2 saudara lelaki dan 1 perempuan saya, mulai makan sehari-hari hingga biaya sekolah kami. Agar, bisa sekolah dengan saudara saya, orantua menyekolahkan kami di satu pondok pesantren tedekat dikampung, Pondok Pesantren Darul Furqon, namanya. Terkecuali, kakak paling besar, sekolahnya di tempat lain. Untuk meringkan beban orangtua, sepulang dari sekolah. 

Kami nyabit rumput untuk ternak, jika libur. Sehari bisa 2 kali cari rumput di sawah. Kegiatan ini, kami lakukan sampai selesai sekolah madrasah. Sependek ingatanku, setiap kali datang tagihan SPP yang saat itu berjumlah Rp 80.000 pertahun, orangtua selalu nongak, tak bisa bayar penuh. Jalan terakhirnya, bayar dengan gabah kering ke madrasah seharga bayar SPP satu tahun. Kami jarang sekali dibelikan baju seragam, biar bisa dapat baju seragam, saya dan saudara ambil upah nyangkul dan panen padi di sawah tetangga satu kampung. Dari uang itu, kami pakai buat beli baju seragam sekolah.  

Dengan segala kesulitan ekonomi keluarga itu, alhamdulillah, saya bersama 2 kakak bisa selesaikan sekolah Madrasah Aliyah, sedangkan kakak perempuan saya Nurhayati, hanya sampai kelas dua Aliyah. Ia memilih berhenti karena saat itu, orangtua tak ada biaya. Di pertengahan 2004, saya pun selesai dari pondok pesantren dengan predikat yang cukup memuaskan, juara III saat itu. Capaian ini, membuat saya agak percaya diri untuk bisa melanjutkan ke bangku kuliah, tapi saying lantaran kondisi ekonomi orangtua yang sulit, saya terpaksa mengurungkan niat itu dalam-dalam. Situasi ini, membuat saya harus jadi TKI dulu.  

Dar TKI hingga mimpi kuliah

Setelah selesai sekolah di Pondok Darul Furgon, ibu berharap pada saya agar bisa bekerja penuh bantu di sawah, mencangkul, membajak sawah, menyemai padi, memberi pupuk hingga panen padi. Itulah yang bisa saya kerjakan kala itu. Terkadang, jika ada waktu istirahat menanti panen padi tiba, atas inisiatif sendiri, saya ambil upah nyangkul, bajak sawah dan peladen tukang di kampung. Upahnya serabutan itu, saya pakai untuk membeli buku bacaan, seperti kamus Bahasa Inggris Hasan Sadly dan buku motivasi lainnya. Dengan harapan, semangat saya untuk lanjut kuliah terus terjaga. Semangat agar bisa kuliah itu, saya patri betul dalam hati. 

Bersama tim AMAN Indonesia di Conference Internasional (Foto, Ahyarros)
Bersama tim AMAN Indonesia di Conference Internasional (Foto, Ahyarros)

Selain pada orantua, saya tak berani cerita punya mimpi kuliah. Suatu hari, saya mencoba memberanikan diri ceritakan niat kuliah pada ibu, kala itu ibu menyimak curhatan anaknya. Selang 5 menit cerita, ibu menceritakan kondisi keuangan keluarga. "Ibu sebenarnya ingin sekali lihat kamu bisa sekolah lagi, tapi ayah dan ibu saat ini tak punya uang untuk menyekolahkanmu, untuk makan saja susah, apalagi mau kuliahkan kamu. Insyallah, nanti kalau kita ada rizki, kamu kuliah ya. Sabar nak". Ucap ibu, saat itu.

Kata ibu saat itu membuat saya cukup sedih, hingga kini ucapan tak bisa saya lupakan. Mengingat kata itu kembali, membuat saya kerap meneteskan air mata. Kata-kata seperti pelecut untuk terus bekerja keras dan berani bermimpi. Sejak itu, saya tak ada harapan bisa kuliah, selain dengan cari biaya sendiri, tidak bergantung pada orangtua. Satu bulan setelah curhat sama ibu, saya minta bantuan saudara agar bisa pergi ke Malaysia menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Berkat pinjaman uang saudara, saya pergi merantau. Di akhir 2004, saya pun berangkat di Malaysia, sebagai kuli di sebuah perusahaan kontraktor di Skudai, Johor Baru. Setelah 3 tahun di Malaysia, saya ada sedikit rizki yang tabungan pada ibu di kampung, pada awal tahun 2008, saya putuskan pulang kampung untuk melanjutkan mimpi, melanjutkan kuliah.

Sampai di Lombok, saya tak lansung daftar kuliah, karena saat itu belum ada pembukaan mahasiswa baru. Sembari menunggu pembukaan pendaftaran kuliah, saya mencari kerja tambahan ikut sepupu kerja angkut batu dan pasir untuk pembuatan irigasi. Dan bulan awal Agustus, saya minta izin orangtua untuk mendaftar kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram. Dengan tabungan bekerja di Malaysia, semua biaya kuliah di UIN bisa tertalanggi tanpa minta ke orangtua. Tahun pertama masuk di UIN Mataram, saya cukup bersemangat kuliah, maklum, mimpi yang lama terpendam bisa tercapai. Saya seakan tak percaya bisa kuliah kala itu. Selain kuliah, saya aktif belajar di organisasi intra kampus, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Royu'na sedang di ekstra kampus, saya belajar berproses di Himmah NWDI dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Mataram. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun