Mohon tunggu...
Ahyarros
Ahyarros Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pancasila dan Amnesia Kita

2 Juni 2016   00:13 Diperbarui: 2 Juni 2016   00:46 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam perjalanan ke Jakarta, saya teringat kisah seorang anggota DPR-RI asal NTB. Saya tak ingat lagi tahunnya, kepada saya anggota DPR itu bercerita tentang seorang cucunya yang suatu hari bernyanyi lagu Garuda Pancasila versi plesetan Hary Rusli itu. Anggota dewan kita ini gusar bukan kepalang, ketika sang cucu yang beranjak remaja itu, menjawab dengan cuek permintaan kakeknya untuk memperbaiki nyanyiannya itu. “Santai saja kek, zaman sudah berubah. Hari gini kok masih ribut soal Pancasila?”

Seperti kalimat dalam permainan catur, sang kakek mati kutu. Ia tidak ingin lagi berdebat panjang dengan sang cucu. Melalui teleponnya ia berkeluh kesah kepada saya. Ia merasa nelongso, mengapa dasar negara yang mulia itu dipermainkan begitu rupa oleh cucunya? Apakah di tengah eforia kebebasan, bangsa ini tidak butuh lagi Pancasila? Kepada saya, ia katakan akan mengkampanyekan kembali Pancasila. Saya tidak tahu kemudian, apa benar itu ia lakukan.

Kalau benar, bagaimana gerangan caranya? Siapa pula sasarannya? kaum pelajar seperti cucunya? Kalangan birokrat yang lumutan dengan korupsi? Atau kepada koleganya sesama anggota dewan yang lebih sibuk berebut kursi dan suara ketimbang memikirkan Pancasila?

Belakangan saya kenal dengan Jeremy. Saya tidak ingat nama lengkapnya. Yang saya ingat ia Mahasiswa University of Melbourne Australia, yang sedang mengkaji Pancasila dalam kehidupan masyarakat di Lombok. Saya bertanya sampai tiga kali kepadanya; anda serius mengkaji Pancasila di negara yang bisa jadi sudah lupa dengan dasar negaranya itu.

Jeremy tidak kaget dengan pertanyaan saya, ia bahkan bercerita hampir setiap kali bertemu nara sumber untuk wawancara, pertanyaan serupa ia terima. Jeremy jadi balik keheranan dan bertanya kepada saya: Apakah itu pertanda para nara sumbernya heran ada orang asing meneliti Pancasila? Atau justru karena dalam tempurung kepala para nara sumber tadi, Pancasila tidak pernah terpikirkan lagi? Di tanya balik begitu saya serasa kena skak mat juga. Saya tak tahu apakah harus jawab jujur atau sedikit diplomatis kepada peneliti asing ini?

Gejala Verbalisme

Musim berlalu zaman berganti, Pancasila seperti kehilangan arti dan relevansi. Dulu di zaman orde lama, atas nama Pancasila Bung Karno merumuskan politik demokrasi terpimpin dengan mantra saktinya Nasakom (Nasionalis, Komunis dan Agama). Hasilnya seperti menggarami air laut, konsep Nasakom hanya indah dalam retorika, namun kacau-balau dalam realita. Demokrasi terpimpin ala Soekarno kemudian menemukan jalan buntu.

Di ujung jalan itu sejarah mencatat terjadi tragedi berdarah yang hingga kini masih berselimut misteri. Itulah dia tragedi 30 September 1965. Tragedi yang kemudian menumbangkan Sukarno dengan Nasakomnya. Lalu datang Jenderal Besar Soeharto sebagai penguasa Orde Baru. Penguasa yang satu ini mendesain konsep politiknya dengan nama yang tak kalah cantik: demokrasi Pancasila. Bagaimana buahnya? Selama 32 tahun berkuasa, demokrasi Pancasila tidak lebih sekadar kamuflase dari praktek sebuah rezim yang represif.

Pancasila hanya ada dalam retorika seremonial tetapi jauh dari esensi yang subtansial. Pancasila turun derajatnya dari roh dan spirit sebagai dasar negara hanya tinggal menjadi “mantra sakti” yang digunakan sebagai alat legitimasi melanggengkan kekuasaan. Tumbuh suburlah apa yang Almarhum Nurcholis Madjid sebut sebagai gejala Verbalisme. Yaitu gejala di mana bangsa ini merasa telah menjalankan Pancasila karena terlalu sering diucapkan.

Sementara sejatinya, pikiran dan perilaku bangsa ini bukan hanya kerapkali berbeda, tetapi tidak sedikit pula yang berseberangan dengan nilai-nilai Pancasila (Nucholis Madjid:2003). Sialnya, gejala verbalisme tadi tidak ikut mengalami reformasi, tatkala 21 Mei 1998 Jenderal Besar Soeharto lengser dari tahta kekuasan. Justru sebaliknya, di zaman reformasi kini, diam-diam menguat gejala di mana Pancasila dianggap persis seperti omplet tua yang di pajang sebagai barang antik warisan masa silam yang tidak lagi relevan buat semangat zaman.

Eforia reformasi membuat republik ini seperti rumah besar yang gaduh dan rapuh. Tiap-tiap penghuninya sibuk mementingkan diri sendiri dan kehilangan sikap toleransi terhadap keberagaman dan pluralisme. Merebaklah di seantero negeri, sikap memaksakan hasrat dan kehendak, cara pandang yang saling curiga, perpecahan, tindak anarki, kekerasan, dan bahkan keinginan (laten atau manifes) untuk berpisah dari rumah induk yang bernama Republik Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun