[caption id="attachment_172558" align="aligncenter" width="500" caption="ilustrasi/admin(shutterstock.com)"][/caption]
“Jika anda berbicara pada seseorang dengan bahasa yang dimengerti, maka otaknya akan mencerna. Namun jika berbicara pada seseorang dengan bahasa ibunya, maka hatinya akan ikut tergerak.”
- Nelson Mandela
[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi (sumber: canstockphoto.com)"]
Tahukah kalian hari ini (21/02) adalah hari bahasa ibu internasional (International Mother Language Day). Menurut UNESCO, hari bahasa ibu internasional adalah hari mengkampanyekan keragaman berbagai bahasa ibu terutama melaui pendidikan multibahasa. Tujuannya, agar timbul pemahaman, toleransi lalu dialog terhadap para pengguna bahasa ibu. Tujuan ini menginggatkan saya pada obrolan yang biasanya bernada guyonan. Semisal ada tiga orang sedang berdialog. Lalu pada tengah obrolan ada dua orang saling berbicara dengan bahasa daerah (ya karena mereka berdua satu daerah). Nah karena orang ketiga ingin tahu apa yang diobrolkan maka dia kurang lebih bercanda begini: “Wooi, ngobrol jangan pake bahasa planet dong!”. Sebenarnya siapa yang tidak toleran dalam contoh tersebut?
Sekilas, dua orang yang berbicara daerah tidak toleran karena seakan tidak mengizinkan orang ketiga untuk ikut campur dalam obrolannya. Tapi apa memang benar begitu? Maksudnya coba kalau orang ketiga itu menegur secara sopan dengan tujuan dia ingin juga tahu apa yang diobrolkan. Kemungkinan besar salah-satu dari dua orang tersebut akan menjelaskan tadi apa yang dibicarakan. Lalu, akan muncul saling kesepahaman dalam arti mungkin orang ketiga yang tidak mengenal bahasa daerah dua orang itu akan belajar bahasa daerah dua orang itu.
Akan tetapi kalau sudah terlebih dahulu terlontar teguran “Wooi, ngobrol jangan pake bahasa planet dong!”, maka kemungkinan besar tiga orang tersebut akan menutup pemahaman, toleransi lalu dialog terhadap bahasa daerah. Lebih jauh, pemakaian bahasa daerah pada dua orang tersebut akan jarang digunakan karena merasa mereka berdua berbicara bahasa planet (baca: asing di telinga). Akibat lebih lanjut, mungkin salah-satu kepunahan berbagai bahasa ibu ya disebabkan oleh situasi ketidaktoleransian seperti ini.
Ada lagi satu situasi yang juga pernah saya dengar, yaitu berkaitan dengan penggunaan bahasa Banyumasan. “Orang cantik nggak keliatan cantik lagi kalau dia ngomong ngapak.” Itulah ujaran guyonan yang pernah saya dengar. Selain guyonan, apa maksud dari kutipan itu? Ya tidak lain tidak bukan untuk mengejek. Akibatnya, bahasa Banyumasan jarang digunakan dalam obrolan, terutama bagi yang merasa cantik. Banyak memang faktor yang mempengaruhi mengapa bahasa Banyumasan jarang digunakan dalam obrolan (diantaranya daerah karesidenan Banyumasan yang mulai beranjak ke ciri perkotaan), namun salah-satunya ya itu, malu menggunakannya.
Dari dua contoh kasus itu, ada semacam diskriminasi yang diperlakukan bagi pengguna bahasa ibu. Hal inilah yang diperjuangkan oleh UNESCO, yaitu “untuk mempromosikan inklusi (lingkungan yang ramah keberagaman perbedaan latar belakang –penulis) dan memerangi diskriminasi lalu membangun dialog asli didasarkan pada penghormatan bahasa ibu.” Ini kutipan saya ambil dari pesan Irina Bokova, Direktur Jenderal UNESCO. Pesan itu juga merupakan temaInternational Mother Language Day tahun 2012 ini.
Tema tersebut akan dikampanyekan UNESCO untuk mencegah kepunahan bahasa ibu di dunia. “Diperkirakan hampir setengah lebih dari 6.000 bahasa yang dipakai di dunia bisa punah di akhir abad ini,” lanjut pesan Irina. Artinya, kemanusiaan makin lama makin tergerus karena bahasa menunjukkan identitas siapa diri kita.
Nah bagi kompasianers yang peduli bahasa daerah atau ibu mari perkenalan dengan Wawan Supriadi. Beliau peduli dengan bahasa daerah sebagai bukti beberapa postingannya mengenalkan bahasa ibu. Diantaranya:
- Aksara Ngalagena dari Sunda (Font didapatkan dari Internet)
- Aksara Hanacaraka dari (Font didapatkan dari Internet)
- Akasara Bali (Font didapat dari internet)
- Aksara Rejang dari Bengkulu (Font saya buat sendiri)
- Aksara Kagana/Kaganga dari Lampung (Font saya buat sendiri)
- Aksara Lontara Bugis (Font saya buat sendiri)
- Aksara Batak (Font didapat dari Internet)
- Aksara Surat Ulu dari Prabumulih (Font saya buat sendiri)
- Aksara Rencong dari Kerinci (Font Saya Buat Sendiri)
- Aksara Kawi/ Jawa Kuno (Font saya buat sendiri)
- Aksara Palawa (Font saya buat sendiri)
Selain memposting, beliau juga meminta tolong kepada seluruh Kompasianers yang “memiliki pengetahuan tentang aksara daerah yang belum saya dokumentasikan, diminta dengan hormat untuk mengirimkan contoh aksara daerahnya pada saya melalui email wulansoft@gmail.com,” tulis Beliau di postingan ini. Jadi mari peduli bahasa ibu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI