Mohon tunggu...
Zidan Novanto
Zidan Novanto Mohon Tunggu... Investor

Tulisan tidak mencerminkan tempat penulis bekerja dan tidak mengatasnamakan institusi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

MBG: IKN Versi 2.0, Kebijakan Populis ala Politikus

8 Oktober 2025   08:55 Diperbarui: 8 Oktober 2025   12:08 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://imgsrv2.voi.id/C-Eq37EKGlqDfyY8VqtmkRzWrJwakvgtC3INn9PSOjk/auto/1200/675/sm/1/bG9jYWw6Ly8vcHVibGlzaGVycy8zNjk2NzgvMjAyNDAzMjkyMDEwLW1haW4uY3Jv

Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang pemerintah sebagai solusi menekan angka stunting dan meningkatkan kualitas SDM Indonesia, pada kenyataannya mulai terlihat sebagai IKN versi 2.0: proyek raksasa yang digenjot secara politis tanpa kajian kelayakan (feasibility study) yang matang, tanpa kerangka hukum yang jelas, dan berpotensi menjadi ladang rente baru bagi oligarki dan elite politik.

Anggaran Meledak, Ujungnya dari APBN dan Utang

Pemerintah mengalokasikan Rp71 triliun untuk MBG di APBN 2025, tetapi angka ini ternyata hanya permulaan. Pada 2026, pemerintah sendiri menargetkan anggaran MBG melonjak menjadi Rp268 triliun, bahkan dalam beberapa pernyataan pejabat publik bisa mencapai Rp335 triliun.

Kenaikan anggaran ini menjadi ironi karena sejak awal pemerintah mengatakan akan melibatkan investasi swasta untuk membiayai sebagian program. Kenyataannya, pembiayaan MBG tetap ditanggung APBN dan sebagian lagi dari utang luar negeri---persis seperti drama IKN yang awalnya dijanjikan akan dibiayai 80% dari investasi, tetapi hingga kini masih sangat bergantung pada APBN. Artinya, rakyat bukan hanya membayar program ini lewat pajak, tetapi juga melalui beban cicilan dan bunga utang di masa depan. Ekonom senior Faisal Basri mengingatkan: "Alih-alih memperbaiki layanan kesehatan dan sanitasi yang lebih mendasar, pemerintah memilih program populis yang mahal. Apalagi jika dibiayai dengan utang, itu beban ganda bagi publik."

Program Tanpa Dasar Hukum yang Kuat

Hingga saat ini tidak ada undang-undang atau peraturan pemerintah yang secara eksplisit mengatur MBG. Landasan program ini hanya dimasukkan ke dalam APBN dan RPJMN.

Menurut pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah, melaksanakan program dengan anggaran sebesar itu tanpa payung hukum yang jelas adalah bentuk pengabaian prinsip good governance. Program yang hanya mengandalkan keputusan eksekutif mudah diarahkan sesuai kepentingan politik dan sulit diawasi. Akademisi hukum tata negara Bivitri Susanti juga menyoroti bahwa ketiadaan dasar hukum membuat publik sulit menuntut pertanggungjawaban. "Begitu tidak ada payung hukum, mekanisme check and balance jadi lumpuh," ujarnya.

Politik dan Pungli di Lapangan

Minimnya regulasi membuat tata kelola di lapangan kacau. Beberapa laporan investigasi media menyebutkan bahwa untuk menjadi titik SPPG (Satuan Pelaksana Pemberi Gizi) di beberapa daerah, pihak pelaksana harus menyetor uang ke verifikator, kecuali memiliki backing tertentu baik dari kalangan berseragam atau dari tokoh partai atau anggota DPR.

Ini memperkuat kritik publik bahwa program populis menjadi ajang pemburuan rente: vendor mencari keuntungan, aparat lapangan memungut upeti, sementara anak-anak yang seharusnya menerima manfaat justru diabaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun