Mohon tunggu...
Zidan Novanto
Zidan Novanto Mohon Tunggu... Investor

Tulisan tidak mencerminkan tempat penulis bekerja dan tidak mengatasnamakan institusi

Selanjutnya

Tutup

Financial

Government Guarantee vs Penguatan Kelas Menengah: Mana yang Lebih Rasional?

17 September 2025   07:12 Diperbarui: 17 September 2025   07:12 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.oecd.org/adobe/dynamicmedia/deliver/dm-aid--19516d7b-08d9-4be2-812e-f6dbf887b29e/689afed1-en.jpg?quality=80&width=1454&preferwebp=true

Perekonomian Indonesia kembali menghadapi dilema strategis. Di satu sisi, pemerintah ingin mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah perlambatan global. Di sisi lain, realitas di lapangan menunjukkan adanya risiko yang tak bisa diabaikan. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Agustus 2025 mencatat kredit bermasalah atau Non-Performing Loan (NPL) bergerak secara signifikan, sebuah angka yang menandakan beban sektor perbankan semakin berat. Pertanyaan mendasarnya adalah: apakah pemerintah akan tetap berfokus pada ekspansi kredit dengan skema government guarantee, atau justru memilih strategi menahan ekspansi sambil memperkuat daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah?

Opsi pertama adalah melalui skema government guarantee, di mana pemerintah menaruh dana sekitar Rp200 triliun ke bank-bank umum untuk disalurkan kembali dalam bentuk kredit produktif, terutama kepada UMKM dan sektor prioritas. Risiko dari kredit ini sebagian ditanggung oleh pemerintah melalui lembaga penjamin seperti PT Jamkrindo dan PT Askrindo. Desain semacam ini pernah dipakai pada masa pandemi Covid-19 melalui program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional), di mana hingga 80% risiko kredit UMKM dijamin negara. Dengan cara ini, bank memiliki keberanian untuk menyalurkan kredit meskipun profil risiko debitur tergolong tinggi. Wujud nyata dari skema ini adalah masyarakat dan pelaku UMKM bisa lebih mudah mengakses modal kerja, sementara bank tidak sepenuhnya menanggung risiko gagal bayar. Namun, kebijakan ini jelas tidak murah. Jika gagal, pemerintah harus siap menanggung short-term loss berupa meningkatnya beban APBN akibat klaim penjaminan, apalagi di tengah kondisi NPL yang sudah mengkhawatirkan.

Opsi kedua adalah strategi yang lebih defensif, yakni menahan laju ekspansi kredit sembari memperkuat daya beli masyarakat, terutama kelas menengah yang menjadi motor konsumsi domestik. Strategi ini mengandalkan insentif fiskal yang lebih langsung dirasakan publik, bukan melalui jalur perbankan. Bentuknya bisa berupa potongan pajak penghasilan (PPh) bagi pekerja kelas menengah, subsidi energi dan transportasi agar beban hidup berkurang, subsidi perumahan dan pendidikan untuk menjaga stabilitas pengeluaran rumah tangga, hingga stimulus belanja langsung dalam bentuk bantuan sosial yang terukur. Dengan cara ini, masyarakat kelas menengah mendapatkan ruang bernafas, daya beli mereka terjaga, dan konsumsi domestik bisa menjadi penopang pertumbuhan ekonomi. Istilah yang tepat untuk opsi kedua ini bisa disebut growth through middle-class resilience, karena fokus utamanya bukan menambah utang baru, melainkan menjaga fondasi konsumsi dari kelompok yang paling strategis.

Kedua opsi tersebut memiliki implikasi nyata yang berbeda. Skema government guarantee akan mempercepat sirkulasi kredit, memberi oksigen ke sektor riil, dan menjaga pertumbuhan jangka pendek. Namun, ia rawan menjadi bumerang bila risiko gagal bayar tidak terkendali, mengingat NPL sudah cukup tinggi. Sementara itu, opsi growth through middle-class resilience lebih lambat dalam mendorong pertumbuhan, tetapi lebih sehat untuk jangka panjang karena membangun basis konsumsi yang berkelanjutan.

Karena sudah semakin banyak tanda-tanda krisis yang muncul, mulai dari penurunan daya beli masyarakat, capital outflow yang terus menekan stabilitas pasar keuangan, hingga angka kredit bermasalah (NPL) yang kian membengkak, pemerintah tidak bisa lagi menunda langkah konkret. Diperlukan kebijakan yang mampu memberi dampak langsung dan terasa cepat di masyarakat, sebuah quick win yang tidak hanya menahan laju krisis, tetapi juga membangkitkan kembali kepercayaan publik terhadap arah ekonomi nasional. Dalam situasi penuh ketidakpastian seperti sekarang, kecepatan sekaligus ketepatan respon kebijakan akan menjadi faktor penentu apakah Indonesia mampu melewati badai dengan selamat atau justru terjebak dalam pusaran perlambatan yang lebih dalam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun