Tiap bulan Agustus, langit Indonesia dipenuhi lautan merah putih. Dari gang kecil sampai jalan protokol, bendera itu berkibar dengan bangga---mengingatkan kita pada perjuangan panjang merebut kemerdekaan. Tapi tahun ini, ada pemandangan berbeda yang mencuri perhatian: di sela-sela bendera nasional, berkibar bendera bajak laut ala One Piece lengkap dengan tengkorak dan tulang silang.
Bagi sebagian orang, itu sekadar hiburan, kreativitas, atau cara unik merayakan kemerdekaan. Tapi bagi sebagian lainnya---terutama aparat---ini dianggap pelanggaran. Razia dilakukan, bendera-bendera fiksi itu diturunkan, dan media sosial pun panas membicarakan: apakah ini sekadar soal aturan, atau sudah masuk wilayah kebebasan berekspresi?
Bendera Fiksi yang Memicu Perdebatan
Kasus ini muncul ketika sejumlah warga mengibarkan bendera bajak laut bersamaan dengan perayaan HUT RI. Beberapa menganggapnya bentuk dukungan terhadap karakter fiksi yang mereka sukai. Tapi pemerintah daerah menilai ini tidak pantas dilakukan di momen kenegaraan.
"Bukan soal membatasi kreativitas, tapi kita punya simbol negara yang harus dihormati. Merah Putih itu lambang persatuan, jangan sampai tergeser," tegas salah satu pejabat daerah.
Kontroversi ini semakin meluas karena foto dan video penurunan bendera fiksi tersebut viral di media sosial. Pendukung kebebasan berekspresi menyebut tindakan itu berlebihan, sementara pihak pro-aturan berargumen bahwa simbol negara memang harus dijaga kemurniannya.
Aturan Main Sudah Ada Sejak Lama
Sebenarnya, aturan soal ini sudah jelas tertuang dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara. Pasal-pasal di dalamnya mengatur tata cara penggunaan bendera, termasuk larangan mengibarkan bendera selain Merah Putih di acara resmi kenegaraan.
Tujuan aturan ini sederhana: menjaga kehormatan simbol negara yang punya makna historis dan emosional tinggi. Merah Putih bukan sekadar kain---ia adalah saksi perjuangan, pengorbanan, dan persatuan yang dibangun sejak proklamasi 17 Agustus 1945.
Hak Bereksprimasi di Mata Hukum Internasional
Namun, perdebatan ini tak bisa lepas dari konteks kebebasan berekspresi. Amnesty International Indonesia mengingatkan bahwa Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang menjamin hak setiap orang untuk menyatakan pendapat, termasuk melalui simbol visual seperti bendera.
"Kemerdekaan itu bukan hanya soal bebas dari penjajahan, tapi juga bebas untuk berpendapat tanpa takut represi---selama tidak menimbulkan kekerasan atau kebencian," ujar perwakilan Amnesty.
Dalam pandangan ini, selama pengibaran bendera fiksi tidak dimaksudkan untuk menghina atau mengganti Merah Putih, seharusnya ruang untuk berekspresi tetap ada.
Persimpangan Antara Simbol dan Kebebasan
Di sinilah dilema muncul: bagaimana menyeimbangkan penghormatan pada simbol negara dengan hak warga untuk berekspresi? Apalagi, di era digital, bentuk ekspresi semakin beragam, dari mural, meme, hingga bendera fiksi.