Mohon tunggu...
Mas Zen
Mas Zen Mohon Tunggu... lainnya -

Nama lengkap ahmad zainul ihsan arif biasa dipanggil maszen. Mencoba menceritakan kehidupan yang dilihat oleh mata dan batin. Menulis apa yang diyakini untuk disharing. website

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kenaikan BBM, Saatnya Rakyat Bicara

22 Maret 2012   21:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:36 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gonjang-ganjing kenaikan BBM, membuat saya teringat gonjang-ganjing masalah kebijakan pemerintah akan talangan biaya bank century yang hingga kini belum ada ujung pangkalnya untuk diselesaikan secara hukum. Masalah bank century yang bisa dikatagorikan sebagai masalah korupsi politik (coorporate coruption) yang luput dari perhatian rakyat. Masalah yang uangnya telah habis digunakan dimana penulis tidak tahu jelas ke mana habisnya. Ada rumor berkembang di masyarakat bahwa dana tersebut digunakan untuk dana marketing politik oleh rejim yang berkuasa hari ini.

Kenaikan BBM, kasus skandal century. Sebuah gonjang-ganjing politik yang meresahkan rakyat waktu dan momentnya selalu terjadi pada saat menjelang pemilu. Tidak salah bila saya memiliki hipotesa bahwa semakin dekat pemilu legislatif dan pemilu presiden, semakin tinggi pula politisi berusaha mencari dana negara (mungkin bisa dibaca: merampok uang negara) untuk mempertahankan kekuasaannya. Bila hipotesis ini benar, relakah pembaca tradisi seperti ini terus berulang tanpa akhir di negara kita?

Baiklah kita mulai saja bagaimana hipotesa saya terjabarkan. Kalau Scandal century memang luput dari perhatian khlayak umum karena memang yang tahu pola-polanya hanya kalangan ekonom dan perbankan. Namun masalah Kenaikan BBM ini setidaknya kita khalayak paham bahwa negara kita adalah produser minyak. Tentunya harga minyak dalam negeri yang berhak menentukan adalah kita sendiri melalui pemerintah yang harus menjalankan UUD 1945. Masalah menaikan harga BBM tidak bisa direduksi seolah menjadi pil pahit pemerintah atas tekanan negara asing agar Indonesia menerapkan liberalisasi ekonomi. Sekali lagi tidak. Justru rejim pemerintahan kita banyak menggunakan dalih tersebut untuk memperoleh pundi-pundi uang lembaganya dengan mengunakan aliansi strategis antara politisi – pengusaha, legislatif – birokrasi.

Jadinya Indonesia adalah negara yang seolah-olah liberal (liberal semu) yang selalu mengejek negara-negara maju yang betul-betul telah menjadi negara dengan sistem ekonomi liberalnya dan telah berhasil mensejahterakan rakyatnya. Negara-negara liberal yang demokrasinya telah matang dan didukung oleh infrastruktur dan supratruktur politik yang telah matang sehingga intervensi pemerintah dibidang ekonomi tidak mudah dibiaskan ke kepentingan elit (baca: merampok uang negara dengan kebijakan ngawur).

Kembali ke BBM. Dengan semakin membesarnya koalisi mahasiswa dan rakyat menolak BBM, saya sangat tertarik dengan hitungan politisi PDIP Rieke Dyah Pitaloka. Mohon di check di link ini. Kesimpulan dari hitungan Rieke adalah APBN tidak Jebol justru Rieke jadi bertanya: dimana sisa uang keuntungan SBY jual BBM Sebesar Rp. 97,955 trilyun, itu baru hitungan 1 tahun. Dimana uang rakyat yang merupakan keuntungan SBY jual BBM selama 7 tahun kekuasaannya?

Betapa besar bukan dana politik yang bisa didapat bila kemudian hitungan rieke rasional? Akankah kita rela membiarkan sumber daya kita secara permisif dinikmati hanya segelintir orang saja bukan untuk kepentingan publik, semisal membangun fasilitas umum agar jakarta tidak macet lagi. Ya, untuk menggantikan infrastuktur politik yang bobrok, tidak salah bila rakyat bergerak kembali membangun kekuatan ektra parlementer. Gerakan koalisi menolak kenaikan BBM yang kini membesar harus terus digelindingkan seperti bola salju. Saatnya tokoh-tokoh kharismatik juga turut bergerak, jika tidak kebangrutan negara indonesia akan ada dalam hitungan tahun bahkan bulan. Setelah 32 tahun plus pasca reformasi uang negara selalu dirampok dalam jumlah besar.

Untuk menjelaskan hipotesa saya gampang saja. Ketika kekuasaan legislatif makin besar soal anggaran, makin besar pula politisi untuk memainkan peran anggarannya termasuk kemana sasaran anggaran publik mau diarahkan. Masih ingatkah pembaca dengan kasus yang terhangat seperti scandal wisma atlet, hambalang dan scandal kemenakertrans. Bagaimana tingkah polah politisi untuk berkongkalikong dengan pengusaha/kontaktor pelaksana proyek, lantas politisi tersebut menekan anggota DPRnya yang bermain di mata anggaran tersebut untuk mensetujui anggaran tersebut. Dan yang terakhir birokrasi dalam hal ini kementerian yang memegang anggaran tersebut untuk mencairkan anggaran.

Kalau kita mengamati secara cermat. Kasus wisma atlet, siapa yang jadi menteri, siapa politisinya, siapa DPR Rinya, dan siapa pelaksana proyek wisma atlet. Maka konsepsi saya di atas akan bisa dibuktikan rasionalitasnya.

Memang agak sulit membedah masalah korupsi yang mempunyai modus politisasi birokrasi dengan pisau analisis teori birokrasi weber. Namun bila menggunakan pisau analisis mesis maka semua korupsi berbau korupsi politik akan secara jelas terurai.

Saya hanya bisa katakan saatnya rakyat bicara. Dan saya telah bicara melalui tulisan yang tidak penting ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun