Mohon tunggu...
Ahmad Yudi S
Ahmad Yudi S Mohon Tunggu... Freelancer - #Ngopi-isme

Aku Melamun Maka Aku Ada

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Betapa Absurdnya Hidup Ini

6 Oktober 2019   21:41 Diperbarui: 7 Oktober 2019   09:51 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The Myth of Sisyphus. (sumber : phosamosa.com)

Aku akan bercerita kepadamu betapa absurdnya hidup ini, bahkan kau membaca ini pun tak lebih dari menjenuhkan. Aku tak bermaksud menyibak hedonisme yang ada, tapi realitanya kita adalah hewan yang berpikir dan memiliki kecenderungan tersendiri.

Manusia telah terlempar dalam faktisitas, fakta-fakta, tanpa bisa mengelak maupun menolak. Ia datang secara tiba-tiba atau tak terduga dan kita hidup didalamnya. Tanpa seperti itu, tak mungkin manusia memiliki hasrat untuk meladeninya, walhasil kita telah tenggelam dalam pergulatan--melawan diri sendiri.

Manusia hanya bisa berangan-angan, berencana, kemudian menjalaninya sesuai rencana yang telah dirumuskan, lalu kita serahkan hasilnya kepada kehendak Tuhan. Manusia begitu lemah tanpa kehadiran Tuhan, yang artinya pasrah dan menyerahkan diri pada-Nya.

Bila mendapati hasil yang melenceng dari rencana dan usaha, masalah yang terus menggerogoti dirinya, yang kadang jika ditelusuri penyebab gagalnya segala usaha dan rencana tak lain dari kecerobohan atau kemalasannya sendiri, hingga pada akhirnya Tuhan kembali menjadi kambing hitam, menyalahkan bahwa segala sesuatu adalah perbuatan Tuhan dan kemudian memasrahkannya.

Dirinya lupa bahwa meneelaah perlu untuk menggali setiap kemungkinan yang membuat dirinya gagal. Naluri ini telah telah lama berakar jauh dari kebiasaan terdahulu, bukan mengedepankan intuisi ataupun logisitas dalam melihat dan mencerna kejadian yang menimpanya.

Manusia hanya bisa berangan-angan dan menerka segala kemungkinan, namun kerapkali dihinggapi rasa malas yang membuat angan-angan itu hanyalah sebuah mimpi belaka.

Siklus hidup begitu statis dan monoton, mulai dari bangun tidur, mandi, bersekolah/kerja, makan, pulang, dan kembali tidur, terus seperti itu hingga ajal menjemput. Fakta bahwa kejenuhan telah menjadi teman akrab yang selalu setia menemani setiap saat, dan bagaimana mengimbanginya dengan hal-hal yang menyibukkan diri agar kejenuhan tersebut tidak menjelma menjadi momok yang menakutkan.

Kita menimba ilmu sejak usia belia hingga beberapa dekade dan berakhir dengan siklus kerja yang begitu kapitalis dan merangsang emosi. Sekolah dianggap sebagai satu-satunya modal awal dalam mendapatkan pekerjaan, dengan ijazah sebagai tanda kepintaran.

Nyatanya, sebuah proses kini tidak lagi menjadi prioritas melainkan hasilnya. Tak ayal jika banyak orang memilih jalan pintas dengan membeli nilai dengan uang, sebab mereka terlampau jenuh menghabiskan waktunya dengan bersekolah dan sistem yang tidak pernah berubah.

Kita di didik sebagai makhluk sosial, namun kenyataannya individulitas lebih nampak ketimbang bercengkerama lebih jauh dengan banyak orang walau berada di dalam kerumunan sekalipun.

Kita kerapkali meladeni ego dan mengenyahkan yang lain seolah dunia miliknya sendiri. Kita secara halus begitu rakus memakan segala bentuk materi tanpa ringan membagikannya dengan yang lain, sehingga eksistensi dan pengakuan secara de facto atas keakuannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun