Mohon tunggu...
Ahmad Taufiq
Ahmad Taufiq Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hobi saya bermain sosial media, dan bermain game moba. Besar harapan saya bisa mengunakan media dengan sabaik-baiknya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Darurat Membaca: Saat Siswa Bisa Mengeja Tapi Tak Paham Makna

7 Oktober 2025   21:05 Diperbarui: 7 Oktober 2025   21:38 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Akar pendidikan Najwa Shihab pernah menyatakan sebuah prinsip penting: "Membaca adalah memahami makna, bukan hanya membaca buku". Pernyataan ini menangkap inti dari sebuah krisis tersembunyi yang terjadi dalam sistem pendidikan Indonesia—sebuah kondisi darurat, di mana kemampuan teknis membaca tidak diiringi pemahaman yang mendalam. Fenomena siswa yang bisa membaca, tetapi tidak memahami maknanya, bukan hanya sebuah isu pendidikan semata, tapi sebuah tantangan nasional yang dampaknya terasa secara global.

Laporan terbaru dari Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2022 menjadi bukti empiris yang paling terkini dan mengerikan mengenai kondisi ini.

Dalam survei yang diselenggarakan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Indonesia mencatatkan skor literasi membaca sebesar 359 poin. Angka ini bukan hanya menempatkan Indonesia jauh di bawah rata-rata negara-negara OECD, tetapi juga menjadi skor terendah sejak Indonesia pertama kali berpartisipasi pada tahun 2000. Data ini menunjukkan konteks waktu, yaitu 2022 serta tren sebelumnya, dan lokasi, yaitu Indonesia secara nasional, dari kondisi darurat ini. Krisis ini melibatkan seluruh sistem pendidikan: siswa yang masa depannya dipertaruhkan, guru yang bekerja di lapangan, hingga pejabat di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang memegang peran merancang arah dan solusi.

Esai ini berargumen bahwa fenomena kesenjangan antara kemampuan membaca dengan pemahaman makna adalah gejala dari tantangan yang berasal dari kombinasi pendekatan pendidikan yang ketinggalan zaman, kondisi sosial budaya yang belum mendukung, serta hambatan sistemik dalam akses terhadap sumber belajar.

Oleh karena itu, esai ini akan menganalisis bukti-bukti krisis literasi, menelusuri latar belakangnya yang kompleks, serta mengevaluasi secara kritis respons strategis pemerintah, dari program seperti Gerakan Literasi Sekolah (GLS) hingga reformasi sistemik melalui Kurikulum Merdeka. Analisis krisis literasi di Indonesia dapat dilakukan melalui data kuantitatif yang disajikan oleh PISA. Skor 359 pada PISA 2022 adalah penurunan besar sebesar 12 poin dari skor 371 pada 2018, yang secara efektif kembali menempatkan kemampuan literasi siswa Indonesia ke level dua dekade silam. Tren ini menunjukkan adanya stagnasi bahkan penurunan kemampuan dasar siswa dalam memahami dan menggunakan teks tertulis. Untuk memberikan konteks sejarah yang lebih jelas, tren skor literasi membaca Indonesia sejak tahun 2000 dapat dilihat pada tabel berikut.

Angka-angka ini bukan hanya angka biasa, tapi menunjukkan kemampuan sebenarnya siswa. PISA mengelompokkan kemampuan siswa ke dalam beberapa tingkat. Hasil PISA 2022 menunjukkan bahwa hanya sekitar 25% siswa Indonesia yang mencapai setidaknya tingkat 2, yaitu tingkat minimum di mana mereka bisa mengenali ide utama dalam teks yang tidak terlalu panjang dan menemukan informasi berdasarkan petunjuk yang jelas. Sementara itu, hampir tidak ada siswa Indonesia yang sampai ke tingkat 5 atau lebih tinggi, tingkat yang membutuhkan kemampuan memahami teks yang panjang dan rumit serta mampu membedakan antara fakta dan pendapat berdasarkan petunjuk halus. Kesenjangan ini jelas membuktikan bahwa mayoritas siswa mampu membaca dengan dasar (tingkat 2), tetapi belum bisa memahami dan mengevaluasi dengan mendalam dan kritis (tingkat 5 ke atas).

Dalam merespons hasil ini, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim memberikan pernyataan yang menyoroti sisi lain dari data tersebut.

Ia menganggap hasil PISA 2022 sebagai bentuk ketangguhan sistem pendidikan nasional. Argumen ini didasarkan pada fakta bahwa meskipun skor rata-rata Indonesia turun, peringkatnya secara global justru naik 5 posisi dalam literasi membaca. Kenaikan peringkat ini terjadi karena penurunan skor Indonesia yang lebih kecil dibandingkan penurunan rata-rata global setelah pandemi COVID-19, yang menyebabkan penurunan kemampuan belajar di banyak negara. Namun, penting untuk memahami paradoks antara kenaikan peringkat dan penurunan skor. Kenaikan peringkat lebih mencerminkan ketahanan relatif menghadapi krisis global, bukan tanda kemajuan nyata dalam kualitas pendidikan. Fokus pada peringkat bisa membuat kita lupa bahwa kemampuan dasar siswa Indonesia dalam memahami informasi secara faktual telah menurun hingga titik terendah dalam sejarah partisipasi PISA.

Kesenjangan pemahaman ini memiliki latar belakang yang kompleks.

Akar utamanya terletak pada sistem pengajaran yang sebelumnya lebih menekankan hafalan daripada pengembangan kemampuan berpikir kritis, analisis, dan pemecahan masalah. Kurikulum yang padat sering kali memaksa guru untuk fokus pada penyelesaian materi, sehingga pembelajaran membaca hanya terbatas pada kemampuan mengekstrak informasi secara langsung, bukan menginterpretasi, mengevaluasi, atau menyusun makna secara lebih dalam.

Masalah ini diperparah oleh kondisi sosial dan budaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun