Kemarin siang, saat sedang berkendara di pinggir kota di Karawang, saya melihat seorang kakek tua berdiri di balik gerobak kecilnya menjajakan makanan sederhana, tepat disebelah mini market iconic. Pasti setiap hari, ia berharap ada pembeli yang singgah untuk membeli dagangannya, namun “transaksi”nya masih sepi, terlihat penganan yang biasa dijual pagi hari tapi hingga siang masih menumpuk di gerobaknya. Meski demikian, kakek tersebut tetap tenang dan tersenyum. Kisahnya bukan sekadar tentang perjuangan mencari nafkah, tetapi juga gambaran nyata dari banyak warga yang hidup dalam keterbatasan, berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Kisah kakek tersebut mengingatkan kita akan pentingnya negara hadir terutama mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial yang terkandung dalam Pancasila. Hari ini bangsa Indonesia kembali memperingati Hari Lahir Pancasila, sebuah momentum untuk mengingat kembali falsafah yang menjadi fondasi negara ini. Pancasila mengajarkan bahwa setiap warga negara, tanpa terkecuali, berhak atas kesejahteraan dan perlindungan sosial. Perjuangan sang kakek yang sederhana itu mencerminkan tantangan yang harus dihadapi bangsa dalam mewujudkan keadilan sosial yang sejati, bukan hanya sebagai cita-cita, tetapi sebagai tanggung jawab bersama.
Pengantar
Setiap tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila sebagai momen penting untuk merefleksikan dan memperkuat nilai-nilai dasar yang menjadi pijakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penetapan tanggal tersebut secara resmi dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, untuk menegaskan urgensi memahami dan mengamalkan Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagai dasar negara sekaligus falsafah hidup bangsa, Pancasila tidak sekadar menjadi simbol identitas, tetapi juga pedoman moral yang menuntun upaya mewujudkan keadilan sosial. Dalam konteks ilmu kesejahteraan sosial, Pancasila berperan sebagai landasan utama yang membimbing berbagai program dan kebijakan untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera, adil, dan inklusif.
Pancasila sebagai Landasan Kesejahteraan Sosial
Pancasila, yang terdiri dari lima sila, secara bersama-sama menjadi panduan nilai dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sila pertama mengajarkan nilai-nilai moral dan etika yang menjadi fondasi perilaku sosial yang baik dan beradab. Sila kedua menegaskan pentingnya penghormatan terhadap hak asasi manusia serta martabat setiap individu, yang menjadi pilar penting dalam pengembangan kesejahteraan sosial. Sila ketiga, menumbuhkan rasa solidaritas dan kekuatan sosial yang sangat dibutuhkan untuk menjaga kesatuan dan harmoni bangsa yang majemuk. Sila keempat mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang berorientasi pada kebaikan bersama. Paling esensial dalam konteks kesejahteraan sosial adalah sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang menjadi pilar utama dalam menciptakan pemerataan kesejahteraan dan perlindungan sosial bagi seluruh warga tanpa terkecuali.
Ilmu kesejahteraan sosial juga mengajarkan pentingnya perlindungan, pemberdayaan, dan pemerataan kesejahteraan di seluruh lapisan masyarakat, khususnya kelompok rentan. Nilai-nilai Pancasila memberikan landasan moral dan ideologis yang kuat dalam perumusan dan pelaksanaan program-program kesejahteraan sosial. Prinsip inklusivitas, keadilan, dan penghormatan terhadap martabat manusia yang terkandung dalam Pancasila selaras dengan misi ilmu kesejahteraan sosial. Oleh karenanya, pengembangan kebijakan sosial yang berkeadilan serta pelayanan sosial yang humanis tidak dapat dilepaskan dari pijakan nilai-nilai Pancasila, yang secara fundamental menuntun terciptanya masyarakat yang saling mendukung dan meminimalkan kesenjangan sosial.
Berbagai kebijakan dan program sosial di dalam pendekatan bantuan sosial, perlindungan dan jaminan, serta pemberdayaan sosial adalah manifestasi nyata dari implementasi nilai-nilai Pancasila, terutama sila kelima. Meski demikian, tantangan besar seperti ketimpangan akses terhadap layanan sosial, ketidak-akuratan data penerima layanan, dan metoda atau pendekatan untuk mengangkat keluarga miskin dari lembah kemiskinan masih perlu mendapat perhatian serius. Dalam konteks ini perlu rekonstruksi strategi untuk merevitalisasi dan lebih mengedepankan nilai-nilai Pancasila dalam kebijakan kesejahteraan sosial, sehingga dalam implementasinya semakin lebih adil dan efektif.
Dari sisi Indonesia yang kaya akan keberagaman suku, agama, budaya, dan bahasa kita sangat membutuhkan nilai kesetiakawanan sosial dan toleransi sebagai fondasi utama relasi sosial masyarakat dan merupakan potensi dan sumber kesejahteraan sosial yang cukup penting untuk terus diperlihara dan dikembangkan. Sila ketiga Pancasila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika menjadi perekat sosial yang menjaga keharmonisan, mencegah konflik, sekaligus memperkuat solidaritas dan rasa kebersamaan masyarakat menciptakan kehidupan sosial yang inklusif, damai, dan berkelanjutan.
Penutup
Pancasila bukan sekadar dasar negara, melainkan cermin dari nurani kolektif bangsa Indonesia. Ia mengajarkan bahwa keadilan sosial bukan hanya cita-cita di atas kertas, tetapi harus nyata dalam kehidupan sehari-hari, terlihat dalam senyum sabar seorang kakek penjaja makanan, dalam uluran tangan kepada mereka yang lemah, dalam keberanian untuk saling peduli. Momentum Hari Lahir Pancasila ini seharusnya menjadi pengingat bahwa kita semua memiliki peran. Saat kita saling peduli, saling menopang, dan bergotong royong, maka sejatinya kita sedang menghidupkan Pancasila, bukan dalam pidato, bukan “sekedar” ikut dan mengisi daftar hadir upacara, melainkan dalam tindakan nyata. Inilah semangat sejati bangsa Indonesia. Selamat memperingati Hari Lahir Pancasila, 1 Juni.