Mohon tunggu...
Ahmad Sahidin
Ahmad Sahidin Mohon Tunggu... Freelancer - Alumni UIN SGD Bandung

Warga Kabupaten Bandung. Sehari-hari beraktivitas memenuhi kebutuhan harian keluarga. Bergerak dalam literasi online melalui book reading and review (YouTube Shalawat Channel). Mohon doa agar kami sehat lahir dan batin serta dimudahkan dalam urusan rezeki.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membaca Sejarah Para Nabi dari Buku Hayatul Qulub

18 Januari 2019   20:10 Diperbarui: 18 Januari 2019   20:15 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Akhirnya tuntas juga membaca buku "Hayatul Qulub". Sebuah buku sejarah yang diterbitkan Mizan, Bandung. Hanya sekadar baca. Tidak lebih dari membaca saja. Tidak sempat melakukan cek sumber aslinya. Dan saya percaya pada penulisnya, Sayyid Muhammad Baqir Al-Majlisi, adalah ulama yang luar biasa dalam pengetahuan keagamaannya.
 
Al-Majlisi wafat tahun 1699 Masehi di Isfahan, Iran. Ia hidup pada zaman dinasti Safawiyah yang berkuasa di kawasan Asia Barat, khususnya Persia. Safawiyah bisa dikenal sebagai kerajaan yang menetapkan Syiah Itsna Asyariyah atau Imamiyyah sebagai mazhab resmi. Mazhab Syiah ini kini populer disebut pengikut Ahlulbait.
 
Al-Majlisi dikenal sosok ulama mazhab Syiah yang menjadi rujukan dalam urusan agama Islam bagi kaum Syiah. "Hayatul Qulub" memang dikenal salah satu buku rujukan untuk sejarah dengan cita rasa mazhab Syiah. Dan penerbit Mizan sudah berbaik menerjemahkan jilid pertama dan menerbitkannya. Sayang tidak ada kelanjutan dari buku tersebut. Buku jilid satu ini cukup tebal sekira 300 halaman.

Buku "Hayatul Qulub" jilid satu ini menguraikan sejarah para nabi Allah. Mulai dari Nabi dan peristiwa pembangkangan Iblis, Syith, Idris, Nuh, Hud, Musa, Ibrahim, dan Ismail. Kota-kota dengan kaumnya yang dihancurkan Allah akibat pembangkangan kepada ajaran para Nabi pun dibahas. Peristiwa ashabul kahfi, dan unta Nabi Saleh pun masuk dalam narasi buku.

Narasi yang dibangun dalam buku "Hayatul Qulub" seperti gaya penulisan Ath-Thabari dalam kitab "Tarikh Ar-Rusul wal Muluk" yaitu bercorak riwayah. Hanya memuat riwayat-riwayat tanpa ada sikap dan penilaian atas riwayat yang dimuatnya. Padahal, tradisi kritis dalam hadis atau tarikh sudah berkembang masa kekuasaan dinasti Abbasiyah (pertengahan abad 10-13 Masehi) yang secara historis sebelum munculnya dinasti Safawiyah.

Saya mengira karena riwayat yang dimuat dalam bukunya itu "merasa" tidak perlu dipertanyakan karena yang menyampaikan atau penuturnya para Imam Syiah. Dan sudah mafhum di kalangan Syiah bahwa para Imam Syiah adalah ma'sum (terjaga dari salah dan tidak ada dosa) sehingga tanpa perlu kritik. Dari aspek ini kajian atas buku "Hayatul Qulub" akan berhenti dan tinggal yakin saja dengan narasi-narasi sejarah dimuat dalam "Hayatul Qulub". Saya percaya di masa kini tentu ada ulama yang bersikap kritis pada kitab tersebut.

Secara historiografis, buku "Hayatul Qulub" berbasiskan pada "the great man" dan "the great time" dalam penulisannya. Tokoh "besar" para Nabi muncul dan yang berperan penuh dalam sejarah. Juga otoritas "sumber" kebenaran bersandar dari para Imam, yang jelas-jelas sebagai orang "besar" yang tidak diragukan otentisitas informasinya.

Peristiwa-peristiwa "dahsyat" atas murka Tuhan pada kaum penentang pun menjadi narasi sejarah yang utama dibandingkan aspek sosial kultural kaum terdahulu, yang berperilaku tidak sejalan dengan doktrin agama Islam.

Mungkin untuk sejarawan masa kini aspek sosial kultural pada setiap zaman yang direkonstruksi menjadi bangunan sejarah, akan sangat menjadi perhatian penulisan sejarah. Sebab jika sekadar memuat riwayat saja maka terasa kering saat dibaca. Mungkin mirip kumpulan hadis dan sejarah bukan seperti itu. Kekuatan penulisan sejarah ada pada interpretasi (baik pendekatan hermeneutika maupun semiotika) atas data (peninggalan) arkeologis yang terkait dengan sejarah para Nabi Allah.

Memang amat sulit untuk lepas dari dimensi teologis. Bahkan, untuk orang  sekaliber ilmuwan (yang dalam bahasa Arab disebut 'alim atau ulama) pun jika terkait dengan mazhab maka bersikukuh dengan doktrin teologis yang dianutnya. Karena itu, pemahaman (jahil) saya bahwa khazanah ilmu dalam historiografi untuk buku "Hayatul Qulub" bisa dikatakan mengulang model dan corak tadwin at-tarikh dari ulama atau kitab terdahulu seperti Ath-Thabari. Untuk kemajuan ilmu mestinya tidak berulang, tetapi menyajikan yang baru atau studi tambahan atas model riwayah dalam tadwin at-tarikh al-Islamiyyah.

Ah, sudahlah. Tidak perlu diperpanjang. Mungkin harus syukur kepada Allah dan berucap "hatur nuhun" pada para ulama terdahulu yang menyempatkan dirinya menulis dan mewariskan informasi pada generasi sekarang.

Dan ini satu lagi, di antara yang menarik dari buku "Hayatul Qulub" adalah kejadian dahsyat yang menimpa kaum yang diazab terjadi pada hari Rabu. Bahkan pembunuhan Habil oleh Qabil pun terjadi pada hari Rabu. Tidak percaya? Baca bukunya. Hatur nuhun bagi yang sudah baca "celoteh" saya ini. *** (ahmad sahidin, alumni uin sgd bandung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun