Mohon tunggu...
Ahmad Sahidin
Ahmad Sahidin Mohon Tunggu... Freelancer - Alumni UIN SGD Bandung

Orang kampung di Kabupaten Bandung. Sehari-hari memenuhi kebutuhan harian keluarga. Beraktivitas sebagai guru honorer, editor and co-writer freelance, dan bergerak dalam literasi online melalui book reading and review.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memahami Sejarah Umat Islam Melalui buku Duka Padang Karbala

14 Januari 2019   12:32 Diperbarui: 17 Agustus 2021   14:06 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tidak tahu harus berucap apa kala sakit. Apakah harus syukur karena dengan sakit kemudian sabar maka saya akan dapat pahala dan dosa berguguran? Ataukah sebaliknya nyesali diri karena tidak jaga kesehatan sehingga tidak bisa aktivitas dalam kerja dan lainnya. Inginnya syukur lantas disegerakan sehat. Itu yang diharapkan. Namun, hanya Tuhan menjadi penentu atas nasib hidup manusia. Saya percaya itu.Saat jalani sakit, saya membaca karya Sayyid Ibnu Thawus tentang Karbala. Masih terus dibaca dan muncul kalimat yang menghentak jiwa yang membuat mata berkaca-kaca.

Buku yang dibaca terjemahan berjudul "Duka Padang Karbala". Saya dapat dari seorang kawan tahun lalu. Bukunya tebal sekira 231 halaman. Saya baca hingga tuntas selama tiga hari. Lurus saja dalam membacanya. Mungkin yang menerjemahkannya kurang masuk pada rasa sehingga ceritanya berupa tuturan, yang saya sendiri sering dengarkan dalam acara Asyura.

Bisa disebut buku sejarah. Karena memang sesuai dengan standar sejarah bahwa cerita yang dituliskan dalam buku bersifat kronologis dari awal pergerakan Imam Husain as beserta keluarga dan pengikutnya dari Madinah kemudian Makkah dan Kufah, Irak. Dalam perjalanan ini Imam Husain as banyak memberikan hikmah dan menguatkan pengikutnya dalam kesetiaan kepada keluarga Rasulullah Saw. Bahkan pada malam sebelum hari tragedi, Imam Husain as memberikan pilihan bagi pengikutnya untuk meninggalkan kemahnya. Namun, mereka yang bersama Imam Husain as tetap setia hingga kejadian tragis terjadi di Karbala.

Tiba hari 10 Muharram satu persatu pengikut dan keluarga laki-laki yang setia kepada Imam Husain as berguguran melawan ribuan pasukan Ibnu Ziyad dan tambahan pasukan Yazid bin Muawiyah dari Damaskus. Tak imbang dan memang bukan perang, tapi sebuah pembantaian atas nama kuasa. Bahkan Imam Husain as yang gagah pun kalah dan sejarah memang mengisahkan kekalahan di pihak yang benar. Ngeri dan menggetarkan hati saat upaya penggal kepala dan pencopotan barang berharga yang melekat di tubuh cucu Rasulullah Saw tersebut. Tega dan sudah hilang rasa kemanusiaan tindakan keji yang dilakukan kepada Imam Husain as.

Cerita berlanjut dengan menggiring keluarga Imam Husain as ke Damaskus. Kaum wanita dan anak kecil, termasuk seorang pemuda putra Imam Husain yang sedang sakit pun digiring seperti binatang. Setiba di istana Yazid dengan segala perilaku nista dilakukan kepada keluarga Rasulullah Saw kemudian dipulangkan ke Madinah. Di Karbala, putra Imam Husain as yang selamat dan pelanjut imam Syi'ah (Ali Zainal Abidin) menguburkan jenazah pengikutnya dan menyatukan kepala dengan tubuh ayahnya.

Selepas prosesi pemakaman, orang-orang Kufah diceritakan menyesali terjadinya tragedi tersebut. Mereka yang dulu mengirimkan surat untuk menjadikan imam Husain as sebagai pemimpin kemudian tidak membela saat diserang pasukan musuh.

Namun, sayangnya oleh Thawus tentang warga Kufah yang kirim surat ini tidak dibahas detail. Mengapa dan kenapa goyah dalam membela Imam Husain as? Sisi ini tidak ada kupasan yang detail dari Sayyid Ibnu Thawus. Padahal awal mula dari kepergian Imam Husain as ke Kufah dan tercegat di Karbala karena undangan kesetiaan dari warga Kufah. Tampaknya historiografi warga Kufah ini perlu dikaji ulang dan dicari latar belakangnya, sehingga diketahui alasan seakan-akan mereka membiarkan pemimpinnya menjadi korban kebiadaban Bani Umayyah.

Sejarah tragedi Karbala ini memang menyimpan luka yang dalam dan memilukan dalam tubuh umat Islam. Tak habis pikir, cucu Rasulullah Saw dibantai dan diperlakukan dengan keji oleh orang-orang yang notabene mengaku sebagai umat Islam. Tak ada penghargaan, atau rasa terima kasih kepada Nabi Muhammad Saw atas agama yang dipeluknya. Malah menodainya dengan membantai cucunya. Ini benar-benar sejarah tragis dari sisi kemanusiaan maupun teologis. Keberislaman mereka yang terlibat dalam pembantaian atas keluarga Rasulullah Saw patut dipertanyakan: benarkah mereka beragama Islam?

Sayyid Ibnu Thawus, penulis buku "Duka Padang Karbala" adalah seorang Muslim Syi'ah. Yang biasanya disebut pengikut keluarga Rasulullah Saw atau mazhab Ahlulbait. Dia hidup masa akhir kekuasaan Dinasti Abbasiyah dan disebut pemimpin Syiah pada masanya. Bahkan disebutkan dalam biografinya sejaman dengan ilmuwan Nashirudddin Ath-Thusi yang hidup masa akhir kekuasaan Dinasti Abbasiyah.

Melihat dari masa hidup penulisnya, buku Padang Karbala ini, ada jarak yang jauh dari masa kejadiannya. Tahun sekira 680 Masehi bisa dikatakan saat terjadinya peristiwa tragis di Karbala. Sayyid Ibnu Thawus dalam biografi disebutkan hidup di masa akhir kekuasaan Bani Abbasiyah yang direbut oleh Khulaga Khan tahun 1258 Masehi.

Ada jarak informasi yang jauh dan saat itu orang masih mengandalkan ingatan saat rekonstruksi sejarah. Heuristik yang dilakukan Ibnu Thawus adalah menyusun berdasarkan riwayat yang turun temurun (meski menyebutkan rujukan kitab-kitab), yang sudah tentu itu berdasarkan memori kolektif dari mereka yang mungkin dengar informasi peristiwa tragedi di Karbala. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun