Mohon tunggu...
Ahmad Rizani
Ahmad Rizani Mohon Tunggu... Dosen -

Dosen Universitas Borneo Tarakan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Optimalisasi Peran Advokasi dalam Mempengaruhi Kebijakan Publik

29 Januari 2011   04:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:05 1500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembuatan kebijakan publik menghendaki partisipasi masyarakat dalam tahap perumusan kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan.

Istilah advokasi merujuk kepada dua pengertian, yaitu, pertama, pekerjaan atau profesi dari seorang advokat, dan kedua, perbuatan atau tindakan pembelaan untuk atau secara aktif mendukung suatu maksud. Pengertian pertama berkaitan dengan pekerjaan seorang advokat dalam membela seorang kliennya dalam proses peradilan untuk mendapatkan keadilan. Pengertian advokasi yang pertama ini lebih bersifat khusus sedangkan pengertian kedua lebih bersifat umum karena berhubungan dengan pembelaan secara umum, memperjuangkan tujuan atau maksud tertentu.

Dalam konteks advokasi untuk memengaruhi kebijakan publik, pengertian advokasi yang kedua mungkin yang lebih tepat karena obyek yang di advokasi adalah sebuah kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan publik atau kepentingan anggota masyarakat.

Kebijakan publik (public policy) didefinisikan sebagai “apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan”. Pengertian ini memberi batasan ruang lingkup kebijakan publik yang tidak hanya terbatas pernyataan-pernyataan yang merupakan keinginan pemerintah dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah, tapi juga meliputi hal-hal yang tidak dilakukan pemerintah.

Dimasukkannya hal-hal yang tidak dilakukan pemerintah sebagai bagian kebijakan publik, disebabkan karena “sesuatu yang tidak dilakukan” oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh (dampak) yang sama besarnya dengan “sesuatu yang dilakukan” oleh pemerintah. Bila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu tindakan, maka harus ada tujuannya, begitu pula jika pemerintah tidak melakukan sesuatu.

Kebijakan publik dapat pula diartikan sebagai pengalokasian nilai-nilai secara paksa (sah) kepada seluruh anggota masyarakat. Definisi ini menegaskan bahwa hanya pemerintah lah yang secara sah dapat berbuat sesuatu pada masyarakatnya dan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu tersebut ditampilkan dalam bentuk pengalokasian nilai-nilai pada masyarakat. Hal ini disebabkan karena pemerintah termasuk kedalam “authorities in a political system”, yaitu para penguasa dalam suatu sistem politik yang terlibat dalam masalah sehari-hari yang telah menjadi tanggung jawab peranannya.

Kebijakan publik itu mewujudkan diri dalam berbagai bentuk, yaitu : peraturan perundang-undangan, maksud dari aktor politik, keputusan-keputusan dan pidato-pidato pejabat teras pemerintah, program-program pembangunan dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah dalam merespon dan mengatasi berbagai masalah kemasyarakatan dan kenegaraan.

Pembuatan kebijakan publik untuk memecahkan suatu masalah dilakukan melalui proses politik yang melibatkan para pengambil keputusan dan pengikutnya serta penentangnya. Dalam lingkungan politik, kebenaran bersifat relatif. Sedangkan hakikat politik itu sendiri adalah perjuangan untuk mengalokasikan nilai-nilai dan sumber-sumber sosial.

Dengan demikian kebijakan publik mengandung aspek politik yang sangat kuat, dan karena itu setiap kebijakan yang dihasilkan pastilah memendam persoalan politik. Mengapa dibuat kebijaksanaan tersebut? Sumber daya apa yang dimiliki, siapa yang digunakan untuk menjalankan kebijakannya? Siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan? Ini semua merupakan persoalan politik, yang pasti melekat dalam suatu kebijakan.

Karena pembuatan kebijakan publik melalui proses politik, maka akan terjadi persaingan (pengaruh mempengaruhi) antara kekuatan-kekuatan yang terdapat dalam masyarakat dengan membawa kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai yang diyakininya.

Meskipun demikian, dalam konsep demokrasi modern, kebijakan publik tidaklah hanya berisi cetusan pikiran atau pendapat para pejabat yang mewakili rakyat, tetapi opini pubik (public opinion) juga mempunyai porsi yang sama besarnya untuk diisikan (tercermin) dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan Negara. Setiap kebijaksanaan Negara harus selalu berorientasi pada kepentingan public (public interest).

Advokasi kebijakan publik merupakan upaya pembelaan (pengawalan) secara terencana terhadap rencana sikap, rencana tindakan atau rencana keputusan, rencana program atau rencana peraturan yang dirancang pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan agar sesuai dengan kepentingan masyarakat. Nilai-nilai utama yang terdapat dalam masyarakat yang menjadi kepentingan seluruh anggota masyarakat haruslah diprioritaskan.

Keberhasilan advokasi kebijakan untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik sangat tergantung kepada kualitas aktor atau para aktor yang memainkan peran dalam advokasi kebijakan tersebut yang meliputi kemampuan intelektual, kemampuan mengkomunikasikan ide dan pemikiran, kemampuan untuk menjalin relasi politik dan pengorganisasian kekuatan politik serta kemampuan membangun opini publik.

Kendala-kendala yang dihadapi

Upaya masyarakat atau kelompok masyarakat untuk memainkan peran advokasi dalam mempengaruhi kebijakan publik akan menghadapi empat kendala pokok.

Pertama, ada konflik nilai dalam pembuatan kebijakan publik. Konflik nilai bisa timbul antara etika dan estetika yang dapat dilihat dalam RUU anti pornografi dan pornoaksi. Para pendukung etika (tokoh agama dan pendidikan) menginginkan pembatasan yang ketat terhadap publikasi dan prilaku porno, sebaiknya para pendukung nilai-nilai estetika (seniman, musikus, sastrawan, dan pekerja seni) menilai pembatasan yang ketat terhadap publikasi dan prilaku porno bertentangan dengan hak asasi manusia. Mereka menganggap bahwa pelarangan pornografi dapat membelenggu kebebasan berekspresi mereka untuk membuat karya-karya seni yang merupakan sumber mata pencaharian mereka.

Kedua, konflik antara etika dan ekonomi dapat tergambar dari kebijakan dibidang perjudian dan pelacuran (prostitusi). Larangan perjudian dan pelacuran dalam kacamata hukum pidana mungkin dianggap sebagai hal yang wajar, tapi perjudian dan pelacuran dengan beban pajak yang cukup tinggi dapat menjadi sumber bagi pendapatan daerah.

Ketiga, kondisi masyarakat sipil yang tidak terintegrasi secara baik. Sebenarnya kekuatan masyarakat sipil cukup memadai, baik dari kalangan komunitas perguruan tinggi, kelompok profesi dan lembaga swadaya masyarakat, namun karena terlalu banyak isu-isu yang diusung menyebabkan fokus gerakan masyarakat sipil menjadi terpecah-pecah. Bahkan adakalanya terjadi konflik yang tajam di antara kekuatan masyarakat sipil.

Akhirnya, kondisi demokrasi dalam kehidupan ketatatanegaraan kita yang belum mapan. Meskipun reformasi politik telah berlangsung sejak 1998, tapi peran partai dan aktor politik dalam memperjuangkan kepentingan rakyat masih jauh dari harapan masyarakat. Partai dan aktor politik terlalu sibuk dengan dirinya sendiri sehingga memunculkan apatisme politik dan ketidakpercayaan terhadap partai politik.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun