Pendahuluan
Di tengah derasnya arus digitalisasi, anak-anak kini tumbuh dalam lingkungan yang sangat terhubung dengan teknologi. Sejak usia dini, mereka sudah akrab dengan gawai, media sosial, dan aplikasi hiburan. Namun di balik kemudahan ini, tersembunyi ancaman besar yang sering luput dari perhatian: pelanggaran terhadap privasi digital anak.
Banyak anak tidak memahami apa yang terjadi ketika mereka memberikan izin aplikasi untuk mengakses kamera, mikrofon, atau lokasi. Tanpa disadari, data mereka dikumpulkan, disimpan, bahkan diperjualbelikan---dan hal ini berlangsung setiap hari.
Analisis dari Perspektif Sains Informasi
Aplikasi yang dirancang untuk anak-anak, baik itu game, platform belajar, maupun konten hiburan, seringkali melakukan pelacakan data secara masif. Identitas, minat, lokasi, dan kebiasaan anak dapat dengan mudah dikumpulkan tanpa persetujuan yang memadai. Bahkan, beberapa aplikasi menyamarkan pengumpulan data melalui desain yang sengaja dibuat sulit dipahami oleh pengguna anak. Laporan dari Human Rights Watch pada 2022 menunjukkan bahwa banyak platform daring selama pandemi justru melanggar prinsip privasi anak, baik secara teknis maupun etis.
Kondisi ini memperlihatkan lemahnya perlindungan terhadap kelompok usia muda di dunia digital. Anak-anak berada dalam posisi yang sangat rentan karena kurangnya pemahaman dan kontrol atas informasi pribadi mereka sendiri. Dalam konteks Sains Informasi, hal ini mencerminkan kegagalan penerapan prinsip Fair Information Practices (FIP), terutama dalam aspek transparansi, persetujuan, dan pembatasan data. Akibatnya, anak-anak menjadi sasaran dalam sistem informasi yang tidak berpihak pada kepentingan mereka sebagai individu yang dilindungi.
Analisis dari Perspektif Sosiologi
Dari sudut pandang sosiologi, kita bisa memahami fenomena ini melalui teori konstruksi sosial atas masa kanak-kanak. Teori ini menekankan bahwa persepsi tentang anak-anak dibentuk oleh norma, nilai, dan struktur sosial yang berlaku di masyarakat. Anak-anak bukan sekadar "orang dewasa mini" yang bisa disamakan secara kemampuan dan tanggung jawab, tetapi memiliki kebutuhan dan kerentanan khusus, termasuk dalam ruang digital.
Sayangnya, masyarakat sering keliru menilai bahwa karena anak bisa menggunakan gawai dengan lincah, berarti mereka sudah mampu menjaga dirinya sendiri secara digital. Padahal, kemampuan teknis tidak selalu sejalan dengan kesadaran kritis atau pemahaman terhadap risiko. Minimnya edukasi digital, lemahnya kontrol sosial dari orang dewasa, serta ketiadaan aturan yang ramah anak membuat mereka dibiarkan begitu saja dalam dunia maya yang kompleks dan rawan eksploitasi.
Hal ini juga menunjukkan bahwa secara sosial, anak-anak belum benar-benar diperlakukan sebagai subjek yang perlu dilindungi secara informasi. Mereka masih sering diposisikan sebagai objek pasif, padahal mereka adalah generasi pengguna digital aktif yang justru membutuhkan perlindungan lebih kuat dari masyarakat, lembaga, dan negara.
Risiko Sosial Jangka Panjang