Mohon tunggu...
Ahmad Ricky Perdana
Ahmad Ricky Perdana Mohon Tunggu... Wiraswasta - gemar travelling, fotografi dan menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

seringkali mengabadikan segala hal dalam bentuk foto dan tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perayaan Imlek, Afirmasi Kebhinekaan untuk Memutus Rantai Kebencian

29 Januari 2023   10:37 Diperbarui: 29 Januari 2023   10:40 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perayaan Imlek - liputan6.com

22 Januari 2023 lalu, etnis Tionghoa bersuka ria merayakan Tahun Baru Imlek, tahun baru dalam penanggalan Cina, berdasarkan peredaran bulan (sistem lunar), yang berkaitan dengan pesta menyambut musim semi atau disebut juga Sin Cia. Di Indonesia, perayaan Imlek biasa dirayakan oleh umat agama Konghucu maupun masyarakat Tionghoa di Indonesia yang merayakannya. Tidak hanya di China, Imlek juga dirayakan di beberapa negara lainnya seperti; Korea Selatan, Tibet, Vietnam, Singapura, Malaysia, dan Indonesia.

Setelah reformasi semarak perayaan Imlek dapat kita jumpai di berbagai tempat wisata dan pusat perbelanjaan, siapa saja dapat merasakan semaraknya karena dirayakan secara terbuka. Hal ini dapat terwujud setelah penantian panjang selama 32 tahun lamanya, karena pada masa pemerintahan Orde Baru etnis Tionghoa mengalami kekangan, seluruh upacara agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Hal tersebut dituangkan ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967. Selain itu juga dikeluarkan Surat Edaran No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama.

Dalam surat itu disebutkan bahwa masyarakat keturunan Cina harus mengubah nama Cinanya menjadi nama yang berbau Indonesia, penggunaan bahasa Cina pun dilarang. Lebih dari itu pergerakan masyarakat Cinapun diawasi oleh sebuah badan yang bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang menjadi bagian dari Badan Koordinasi Intelijen (Bakin). Kebijakan yang amat diskriminatif tersebut karena masyarakat keturunan Cina dicurigai masih memiliki ikatan yang kuat dengan tanah leluhurnya dan rasa nasionalisme mereka terhadap Negara Indonesia diragukan. Dalam buku Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia, Frans Winarta menghitung setidaknya ada 64 aturan Orde Baru yang mendiskriminasi etnis Tionghoa.

Salah satu pemicu menguatnya sentimen anti-Tionghoa di Hindia Belanda karena VOC dan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang memercayakan penarikan pajak kepada orang-orang Tionghoa. Ketika VOC datang mereka memanfaatkan orang Tionghoa sebagai rekan berdagang dan memberikan mereka perlakuan istimewa yang tidak didapatkan penduduk asli. Namun hubungan mesra ini tidak berlangsung lama, pada 9-21 Oktober 1740 terjadi peristiwa Geger Pecinan.

Dalam peristiwa itu VOC membantai tidak kurang dari 10.000 jiwa etnis Tionghoa selama 13 hari. VOC menuduh masyarakat Tionghoa berencana melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial, dan, sebagai tindakan balasan, tentara kolonial membantai orang Tionghoa dengan bantuan penduduk asli yang sudah dihasut oleh VOC. Setelah peristiwa Geger Pecinan ribuan etnis Tionghoa mengungsi ke berbagai daerah. Pemerintah Hindia Belanda menempatkan mereka didalam ghetto untuk mencegah mereka berbaur dan berkomunikasi dengan dunia luar, mulai dari peristiwa ini kebencian penduduk asli dengan etnis Tionghoa muncul ke permukaan.

Beratus tahun setelahnya orang Tionghoa tetap mengalami diskriminasi rasial, Pada 1965 muncul klaim bahwa etnis Tionghoa dan PKI bekerja sama dengan Komunis China, dalam peristiwa G30S. Peristiwa ini kembali membangkitkan kebencian rasial terhadap etnis Tionghoa Indonesia di zaman modern. Dimulai dari tanggal 1 Oktober 1965, negara diguncang dengan drama penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh sekelompok pasukan bersenjata kepada tujuh Jenderal Angkatan Darat. Masyarakat dilanda kebingungan serta prasangka, yang membuat seluruh negeri bergolak. Rakyat yang sudah melarat karena tingginya bahan kebutuhan pokok, akibat hiperinflasi yang melanda sejak 1963, menjadi terpancing amarahnya akibat peristiwa tersebut. Emosi rakyat dipermainkan lewat serangkaian isu mengenai pemberontakan yang akan dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia beserta Angkatan Kelima, yang mendapat dukungan dari RRT terhadap pemerintahan yang sah.

Perlahan kampanye anti komunis mulai berkembang menjadi kampanye anti Tionghoa di berbagai daerah, pada 10 November 1965 muncul gerakan anti Tionghoa di Makassar yang berujung pada pembantaian warga Tionghoa di Makassar. Pada 10 Desember 1966, di Medan terjadi kerusuhan massal, dimana orang Tionghoa dikejar dan dibantai karena dituduh bekerjasama dengan komunis. Pada November 1967, di Kalimantan Barat terjadi Peristiwa Mangkuk Merah yang merupakan salah satu tragedi hitam bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia. Puluhan ribu orang Tionghoa dibantai karena dituduh menjadi simpatisan komunis, merencanakan makar dan pemberontakan di Kalimantan. Pada peristiwa tersebut, ratusan ribu orang Tionghoa mengungsi ke Pontianak dan Singkawang untuk menghindari pembantaian oleh masyarakat lokal yang telah dihasut oleh pemerintah dan militer.

Peristiwa kelabu bagi masyarakat Tionghoa seakan tak pernah berhenti. Kerusuhan rasial kembali terjadi menjelang runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998, yang merupakan salah satu masa terburuk bagi sejarah Tionghoa Indonesia. Pada tanggal 13-15 Mei 1998 kembali terjadi persekusi dan pembantaian terhadap etnis Tionghoa, pemerkosaan wanita Tionghoa, serta penjarahan dan pembakaran toko-toko Tionghoa. Peristiwa ini mengakibatkan eksodus besar-besaran etnis Tionghoa-Indonesia ke luar negeri untuk menghindari kerusuhan. Namun ditengah kekalutan krisis ekonomi dan kekacauan yang melanda, pejabat Orde Baru menyalahkan etnis Tionghoa yang dianggap menguasai perekonomian dan menjadi biang kerok krisis ekonomi pada waktu itu. Pernyataan tersebut membuat sentimen anti-Cina kembali berkobar di masyarakat yang berujung pada kerusuhan.

Tak lama setelah reformasi, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dibentuk untuk menyelidiki peristiwa ini. Dari laporan TGPF yang diliris Komnas Perempuan dalam Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 (1999) ditemukan bahwa kerusuhan Mei 1998 digerakkan secara sistematis dan terstruktur yang ditandai dengan munculnya massa provokator yang memancing warga untuk ikut melakukan pengrusakan, secara fisik tampak terlatih, beberapa berseragam sekolah, tidak menjarah dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung terbakar. TGPF juga menemukan bahwa etnis Tionghoa menjadi target utama dalam kerusuhan tersebut, sebagian besar korban kerusuhan dan pemerkosaan adalah etnis Tionghoa.

Munculnya teori-teori konspirasi tentang 'Komunis China' dan 'Kebangkitan PKI' yang ingin menguasai Indonesia dewasa ini tak jauh berbeda dengan isu yang sama, yang muncul pasca peristiwa 65, hanya sekedar kabar burung yang tak dapat dibuktikan kebenarannya. Politik pemisahan identitas yang dilakukan VOC dan Orde Baru sudah terlanjur menciptakan stigma, bahwa etnis Tionghoa adalah etnis 'pendatang' dan 'berbeda' dengan penduduk asli dan stigma ini masih bertahan hingga sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun