Beberapa waktu lalu muncul organisasi yang menamakan khilafatul muslimin di Lampung, yang berujung pada penangkapan sejumlah pemimpinnya. Organisasi ini dianggap mempunyai hubungan dengan jaringan teroris, yang mempropagandakan khilafah di tengah masyarakat. Beberapa waktu lalu, juga muncul bendera mirip bendera HTI yang disandingkan dengan bendera merah putih, dalam deklarasi salah satu capres 2024. Kedua hal ini tentu menjadi peringatan kita, bahwa ideologi khilafah belum sepenuhnya hilang dari masyarakat. Bahkan, kecenderungannya berpotensi meningkat jelang memasuki tahun politik 2024 mendatang.
Disisi lain, kelompok radikal tidak hanya mempropagandakan ideologi khilafah di media sosial. Mereka juga terus melakukan kontra narasi yang terkadang membuat kita semua bingung, karena tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Ketika ada yang mempersoalkan atau mempertanyakan khilafah atau kelompok khilafatul muslimin, langsung dianggap tidak berpihak pada Islam, melemahkan umat Islam, bahkan tak jarang dimunculkan sentimen kriminalisasi ulama. Jika kita tidak memahami isu secara utuh, tentu akan mudah terprovokasi dengan informasi yang menyesatkan tersebut.
Beberapa kelompok muslim yang moderat, juga terlihat mulai banyak yang melakukan perlawanan dalam tataran ide dan gagasan. Mereka tidak ingin dunia maya dipenuhi dengan konten hoaks, provokasi dan bernada kebencian. Dunia maya semestinya diisi dengan konten-konten yang menyejukkan, yang toleran dan bisa merangkul keberagaman. Karena sejatinya kita semua adalah beragam.
Khilafatul muslimin jelas merupakan organisasi yang tidak sesuai dengan ajaran Pancasila. Kelompok tersebut cenderung berlindung dibalik jargon Islam, dan menilai pihak yang berseberangan sebagai pihak yang anti Islam. Pernyataan ini tentu perlu ditelaah lagi. Dan masyarakat diharapkan tidak mudah percaya, meski dikatakan oleh seorang yang berpakaian seperti ulama sekalipun. Kenapa kita harus mempertanyakan? Karena sejatinya setiap agama itu mengajarkan cinta kasih. Setiap agama mengajarkan untuk saling menghargai dan menghormati. Jika ada seseorang mengaku paham agama, tapi perilakunya justru berseberangan dengan ajaran agama, lebih baik tidak perlu didengar.
Mari bekali diri dengan ilmu agama yang benar, yang bisa melihat berdasarkan konteksnya. Jangan termakan propaganda kelompok khilafah yang seringkali mengklaim sebagai pembela agama. Seorang pembela agama harus tetap mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Tidak boleh merasa paling benar, atau merendahkan yang berbeda paham. Di tahun politik ini, potensi provokasi dengan jargon keagamaan diperkirakan semakin masif dilakukan oleh kelompok radikal ini.
Untuk itulah diperlukan komitmen bersama, untuk jihad memerangi segala bentuk bibit radikalisme di Indonesia. Jangan diam melihat provokasi terus bermunculan. Karena provokasi semakin mendekatkan diri pada paham radikalisme. Dan jika radikalisme terus bermunculan, maka nilai-nilai toleransi dan kearifan lokal yang sudah ada sejak dulu, berpotensi tergerus dan hilang. Persatuan dan kerukunan yang selama ini sudah ada, pelan namun pasti juga akan ikut tergerus. Dan sebagai generasi penerus, sebaiknya kita tidak tinggal diam. Mari kita jihad melawan segala bentuk bibit radikalisme dan intoleransi di negeri ini. Salam.