Mohon tunggu...
Ahmad Ricky Perdana
Ahmad Ricky Perdana Mohon Tunggu... Wiraswasta - gemar travelling, fotografi dan menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

seringkali mengabadikan segala hal dalam bentuk foto dan tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tugas Parpol dan Capres 2024, Bebaskan Pilpres dari Politik Identitas

18 Juni 2022   11:46 Diperbarui: 18 Juni 2022   12:02 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toleransi - jalandamai.org

2 tahun jelang pilpres pada 2024, elit politik mulai bermunculan untuk mencari simpati dan eksistensi. Seperti yang sudah-sudah, banyak pihak yang melakukan berbagai cara, agar seseorang yang dijagokan bisa duduk di kursi kekuasaan. Jika kita review beberapa tahun kebelakang, banyak sekali kasus ujaran kebencian, provokasi, hingga menjatuhkan lawan dengan cara-cara yang tidak masuk akal terjadi. Mereka tidak peduli, dampak dari provokasi, kebencian dan politik identitas tersebut membuat masyarakat terbelah. Membuat masyarakat saling bertikai satu dengan lainnya.

Beberapa partai sudah mulai mencari figur yang akan dicalonkan. Seseorang yang merasa punya elektabilitas tinggi, juga aktif menebar simpati agar dilirik partai. Semuanya itu tanpa sadar berpotensi dimanfaatkan oleh kelompok radikal, untuk menjatuhkan pihak-pihak yang dianggap tidak berpihak ke dirinya.

Pekan kemarin, kita semua tahu ada upaya memasukkan politik identitas dalam deklarasi anies baswedan. Bendera bertuliskan kalimat tauhid disandingkan dengan bendara merah putih. Setelah penyelidikan, bendera tersebut bukanlah bendara HTI, organisasi terlarang yang kerap menyebarkan propaganda khilafah. Hal ini menunjukkan politik identitas masih digunakan ketika tahun politik. Tidak menutup kemungkinan jelang 2024 nanti, akan lebih masif lagi.

Dengan kemunculan bendera mirip HTI tersebut, diharapkan menjadi peringatan bersama. Termasuk bagi para elit politik yang ingin mencalonkan diri sebagai capres. Jika ingin menjadi pemimpin yang berpihak untuk kepentingan publik, semestinya juga bisa merangkul keberagaman yang ada di Indonesia. Karena negeri ini lahir dan besar dari keberagaman itu sendiri.

Seringkali, kelompok radikal menggiring opini dengan memanfaatkan fakta yang ada. Misalnya, masyarakat akan digiring dengan opini bahwa mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim. Karena itulah harus dipilih pemimpin yang muslim. Setelah itu akan dimunculkan hoaks bahwa segala kebijakannya harus didasarkan pada hukum Islam. Tak lama kemudian akan muncul konsep khilafah yang dianggap solusi dari segala persoalan yang ada. Dalam konteks ini, masyarakat yang tingkat literasinya rendah, pasti akan menerima mentah-mentah. Akibatnya, potensi konflik di tengah masyarakat berpotensi terjadi. Sekali lagi, mari menjadi pribadi yang cerdas, agar tidak mudah terprovokasi kebencian yang dibalut melalui politik identitas.

Tidak hanya berlaku bagi capres, komitmen untuk tidak menggunakan politik identitas juga harus dijalankan oleh semua partai politik, untuk tidak menggunakan politik identitas untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Partai politik harus menjadi agen perubahan dan bisa mengajarkan pendidikan politik kepada masyarakat. Sehingga, demokratisasi yang terbangun bisa benar-benar memberikan manfaat yang positif untuk seluruh masyarakat.

Ingat, esensi demokrasi adalah dari rakyat dan untuk rakyat. Apa yang rakyat inginkan, hal itulah yang semestinya diwujudkan oleh pemimpin. Tidak bisa dengan semena-mena pemimpin terpilih menguntungkan kelompok yang mendukungnya saja. Sebaliknya, kelompok yang berlawanan, juga harus mengakui pemimpin terpilih secara arif dan bijaksana. Tidak usah mencari kejelekan dan kesalahannya. Sebagai fungsi kontrol, tetap bisa dilakukan sepanjang tidak mengedepankan kebencian dan provokasi SARA. Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun