Dalam "Urang Banjar dan Kebudayaannya (Suryansyah Ideham, ddk : 2005)" menyebutkan dalam sejarah Kalimantan Selatan, jauh sebelum kota Banjarmasin menjadi ibu kota Kerajaan Banjar, terdapat sebuah negara suku milik masyarakat Dayak Maanyan yang bernama Nan Sarunai (Nan Sarunai).Â
Kerajaan Nan Sarunai sekarang terletak di dekat Amuntai dan dapat diklasifikasikan sebagai negara primitif. (Idem) Seiring dengan keberadaan Negara Nan Sarunai, muncul juga kerajaan Tanjung Puri. Kerajaan Tanjung Puri diduga berada di sekitar kota Tanjung merupakan kolonisasi orang-orang Melayu Palembang dari Sriwijaya melalui Laut Jawa sampai ke Kalimantan Selatan. (Idem) Setelah Tanjung Puri muncul lagi Imigran dari Jawa, dan mereka turut serta kemudian mendirikan kerajaan bernama Negara Dipa yang terletak di wilayah Hujung-tanah.Â
Negara Dipa kemudian di Pimpinan oleh Junjung Buih dan Pangeran Suryanata secara turun temurun sampai pada masa pemerintahan Raden Sari kaburangan pusat kekuasaan kemudian dipindahkan ke Muara Hulak, sedangkan Muarabahan dipilih sebagai pelabuhannya dan nama kerajaan itu berubah namanya menjadi Negara Daha.
Serangkaian panjang sejarah pembentukan sebuah Negara tradisional dengan sistem feodalism yang tertuis diatas, dimana semuanya itu berlangsung didaerah hulu sungai. Rentetan itulah yang kemudian secara perlahan lambat laun membentuk garis besar identitas suku banjar di Kalimantan Selatan.
Lahirnya identitas "banjar" pun tidak bisa dilepaskan dengan peristiwa perebutan tahta (usurpasi) di Negara Daha, yakni antara Pangeran Temanggung dengan pewaris tahta yang sah Raden Samudera. Dalam kemelut istana tersebut, Raden Samudera mengasingkan diri ke hilir Sungai Barito dan dilindungi oleh komunitas Melayu yang dipimpin oleh Patih Masih.Â
Pada kemudian hari pangeran dari Hulu Sungai tersebutlah kelak mendirikan sebuah Kerajaan yang disebut Kesultanan "Banjar" dan Raden Samudera sendiri setelah memeluk Islam kemudian bergelar Sultan Suriansyah.
Benang merah serta rentetan sejarah dalam kerangka identitas yang membentuk sosio-kultur  budaya masyarakat Kalimantan Selatan itu sebagian besar merupakan warisan dari daerah Hulu Sungai. Tradisi Hulu Sungai itulah yang kemudian menjadi "dasar" dalam tradisi dan adat istiadat dalam budaya Banjar yang kemudian disesuaikan lagi dengan kebiasaan serta tradisi di berbagai penjuru Kalimantan Selatan seperti di daerah Banjar Kuala dan Banjar Pesisir.
Contohnya Seperti adat istiadat dalam perkawinan atau adat "Pangantin Banjar" yang condong "dasarnya" bermula dari tradisi yang ada pada Negra Dipa dan Daha di Hulu Sungai yang terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Beberapa peristiwa "penting" dalam kerangka besar sejarah Kalimantan Selatan itu pun masih di dominasi peran dari Hulu Sungai sebagai "Inti" dari wilayah Kalimantan Selatan itu sendiri. Contohnya pada Perang Banjar fase I (1859-1863). Sulit untuk dibantahkan kobaran perang banjar yang begitu dahsyat tersebut sebagian besarnya terjadi di wilayah Hulu Sungai[1]. Bahkan ledakan pertama perang di inisiasi oleh para tokoh-tokoh hulu sungai yang berkumpul di Muning, Tapin.
Begitu juga pada era Revolusi Kemerdekaan di tahun 1945-1949 daerah Hulu Sungai menjadi sangat dominan menjadi pusat dari hampir seluruh kegiatan perjuangan revolusi untuk membebaskan Kalimantan Selatan dari cengkraman pemerintahan Kolonial Belanda.
Dari sini dapat kita tarik kesimpulan untuk mengenal Kalimantan Selatan alangkah lebih baiknya diawali dari mengenal daerah "Hulu Sungai" sebagai Induk dari Kalimantan Selatan itu sendiri. Seperti ucapan sejarawan atau penulis histografi Kalimantan Selatan, bapak Wajidi, "Dari hulu asalnya hilir," ujar beliau.(*)