Mohon tunggu...
Ahmad Rasyid Riadhi
Ahmad Rasyid Riadhi Mohon Tunggu... Apoteker

Buruh dagang Pro

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kalau di Inggris Apotek & Apoteker Bisa, Kenapa di Indonesia Cuma Jadi Warung Obat?

6 September 2025   11:06 Diperbarui: 6 September 2025   15:49 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Apoteker yang sedang sibuk memasak seperti diwarmindo, penuh tumpukan kardus indomie, padahal ada pasien didepan mata. Source: Canva)

Di Inggris, apotek itu garda depan kesehatan. Pasien bisa ambil obat rutin tanpa ribet, apoteker bisa konseling sampai dibayar negara. Di Australia, apoteker bahkan bisa kasih vaksin. Nah, di Indonesia? Apotek komunitas masih diperlakukan kayak warmindo: rame, dekat, gampang diakses, tapi dalam sistem kesehatan nasional posisinya cuma dianggap warung, bukan restoran resmi.

Padahal jumlah apotek di Indonesia sudah tembus 40 ribu lebih. Bandingkan dengan puskesmas yang cuma sekitar 10 ribu. Kalau soal jumlah dan kedekatan, jelas apotek jauh lebih unggul. Sama kayak warmindo yang selalu lebih banyak ketimbang restoran fine dining—dan justru jadi tempat rakyat paling sering nongkrong.

Tapi ironisnya, dalam skema BPJS Kesehatan, apotek tidak masuk hitungan. Pasien tetap harus antre di puskesmas atau rumah sakit hanya untuk obat darah tinggi, padahal apotek ada di sebelah rumah. Analogi gampangnya: negara nyuruh orang sarapan di hotel bintang lima, padahal warmindo depan kos sudah siap menyajikan mi rebus plus telur ceplok dalam tiga menit.

Regulasi PHP

UU 17/2023 tentang Kesehatan dan PP 28/2024 sempat bikin apoteker senyum-senyum. Katanya bakal ada integrasi apotek dalam sistem kesehatan. Tapi ya itu, masih sebatas janji manis. Kayak abang warmindo yang bilang “sebentar lagi indomienya jadi”, padahal airnya aja belum mendidih.

Sampai sekarang belum ada aturan teknis jelas apakah apotek bisa klaim BPJS. Tanpa nomenklatur resmi, apotek tetap dianggap warung pinggir jalan. Akibatnya, pasien kronis yang harusnya bisa ambil obat di apotek malah menumpuk di antrean puskesmas kayak ngantri gorengan panas di sore hari.

Trauma Biaya dan Ketakutan Fraud

Dari sisi BPJS, menambah apotek ke sistem itu bikin keringat dingin. Yang kebayang cuma biaya klaim membengkak. Apotek tentu bakal minta jasa dispensing dan konseling dibayar. Padahal BPJS sendiri masih jungkir balik menutup defisit.

Belum lagi masalah fraud. Tak semua apotek taat aturan. Ada yang masih jual antibiotik kayak ciki di minimarket. Jadi wajar kalau BPJS parno: jangan-jangan kalau apotek dikasih jatah klaim, bocornya lebih parah daripada atap warmindo pas hujan deras.

Sementara di Luar Negeri…

Negara lain sudah lama menempatkan apotek sebagai bagian penting sistem kesehatan.

  • Inggris (NHS): Apotek jadi garda depan obat kronis lewat repeat dispensing.
  • Australia: Apoteker dibayar negara untuk manajemen obat, vaksinasi, dan konseling.
  • Kanada: Apoteker bisa tagih biaya konseling ke asuransi publik.
  • Jepang: Apotek wajib terhubung ke rekam medis nasional.

Di sana apotek itu bukan warung Indomie, tapi restoran resmi dengan standar kesehatan ketat. Sementara di Indonesia, apotek masih dianggap warung tenda yang meracik mie sesuai selera, asal kenyang, tanpa masuk buku menu nasional.

Dari Kardus ke Klinis

Problemnya, di Indonesia apoteker masih sering direduksi jadi tukang gudang. Urusan logistik, stok obat, sampai stempel izin. Padahal sejatinya, peran apoteker justru ada di problem solving klinis: memastikan obat diminum benar, mencegah interaksi berbahaya, mendeteksi efek samping, dan mengedukasi pasien satu per satu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun