Di senja yang cerah itu, ketika langit mulai berwarna jingga keemasan dan tiangtiang cahaya matahari mengintip di sela awan, Pondok Pesantren Al-Khoziny Buduran, Sidoarjo, bersiap menjalankan shalat Ashar. Di antara riuh rendah suara angin, kendaraan, dan panggilan azan yang merdu, ada ratusan santri yang berkumpul di musala---tempat mereka mendekatkan diri kepada Allah, mengeja harap dan bakti. Namun tiba-tiba, tanpa peringatan nyata, bangunan yang mereka anggap sebagai rumah ibadah, sebagai tempat berlindung dari segala duka, runtuh di atas mereka.
Pergolakan Waktu dan Suara Tangis
Hari Senin, 29 September 2025, sekitar pukul 15.00 WIB. Musala yang sedang dalam tahap pembangunan---menara doa, shaf berjajar, lantai atas tengah dicor---ditopang oleh pondasi yang rupanya rapuh, struktur yang belum siap menanggung beban tambahan, dan tiangtiang yang belum kuat. (anannurhaji.blogspot.com)
Saat para santri dalam rakaat kedua, tatkala hati mereka penuh khusyu' dan bibir bergerak merdu membaca ayat-ayat suci, muncul suara seperti gemeretak---bangunan bergoyang, lantai atas bergetar. Tak lama kemudian, batu, beton, kayu, dan debu menukik jatuh, menyerap jerit tak terucap, harapan dan doa yang tertahan. Dalam sekejap, tawa muda dan harapan masa depan tersedak di bawah reruntuhan, di antara tiang yang roboh, di samping sahabat yang mendengar panggilan Allah dalam keadaan terjepit. (detikcom)
Data yang Memecah Hati
Berbagai laporan mengungkapkan kisah yang memilukan:
Ratusan santri diperkirakan berada di dalam musala pada saat musala runtuh.Â
Korban yang mengalami lukaluka ada puluhan bahkan lebih, baik luka ringan maupun berat.Â
Santri yang meninggal dunia sampai laporan terakhir (Jumat, 3/10, pukul 18.30 WIB) ada tiga belas orang. Nama-nama mereka sebagian adalah  Mochammad Mashudulhaq (14), Maulana Alfan Ibrahim (14), Muhammad Soleh (22) dan seterusnya.Â
Korban yang masih dirawat di rumah sakit lebih dari sembilan puluh orang, tersebar di beberapa fasilitas kesehatan di Sidoarjo.Â
Wajah-Wajah yang Hilang