Mohon tunggu...
ahmad labudi
ahmad labudi Mohon Tunggu... Ketua Ikatan Alumni STAI Baitul ArqomAl-Islami - Sekretaris PC IKA PMII Kabupaten Bandung

- Religious Studies - Agama Dan Dinamika Politik Pilkada

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

"Kritik Kebijakan Pendidikan Militer: Mengapa Pendidikan Pesantren Perlu Menjadi Bagian dari Pembinaan"

6 Mei 2025   01:00 Diperbarui: 6 Mei 2025   01:46 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di bawah langit Jawa Barat, dari kota-kota yang ramai hingga desa-desa yang tenang, remaja Jawa Barat menaruh mimpi besar. Namun faktanya, tak sedikit remaja yang tersandung kenakalan---tawuran antargeng, perundungan di sekolah, atau pergaulan bebas yang menjerat. Padahal mereka adalah harapan masa depan provinsi ini. Pada 2 Mei 2025, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, meluncurkan kebijakan cukup berani: siswa "nakal" wajib menjalani pendidikan militer selama enam bulan di barak TNI/Polri. Niatnya luhur, membentuk disiplin dan karakter. Namun, apakah pendekatan instan ini mampu menyentuh jiwa remaja? bagaimana dengan pesantren yang memiliki pendekatan spiritual dan budaya lokal sebagai kunci menumbuhkan generasi yang tidak hanya disiplin, tetapi juga berakhlak mulia itu tidak dilirik oleh Gubernur Jabar? Mari kita menakar kebijakan ini, dengan harapan merajut masa depan Jawa Barat yang Istimewa

Kenakalan remaja di Jawa Barat adalah luka sosial yang kompleks. Data Badan Pusat Statistik Jawa Barat (2024) mencatat lebih dari 10 juta penduduk usia 10-24 tahun, banyak di antaranya rentan terjerumus akibat krisis keluarga, tekanan teman sebaya, atau lingkungan yang tidak mendukung. Di berbagai wilayah, dari kota besar hingga kabupaten, tawuran pelajar menjadi sorotan. Laporan media lokal pada 2024 menyebutkan puluhan kasus tawuran antarsekolah di Jawa Barat, sering melibatkan senjata tajam dan menyebabkan korban luka. Perundungan juga marak, seperti kasus siswa SMP di sebuah kabupaten yang mengalami bullying karena latar belakangnya, hingga berdampak pada kesehatan mentalnya. Fenomena ini menunjukkan bahwa kenakalan remaja bukan sekadar ulah, tetapi pertanda krisis nilai dan identitas yang melanda provinsi yang termasuk penduduknya terpadat di negeri ini.

Pendidikan militer, yang identik dengan pelatihan baris-berbaris dan bela negara, tampak seperti anti biotik. Pendekatan militer terlalu instan. Enam bulan di barak mungkin melatih fisik, tetapi tidak cukup untuk mengubah hati atau menyelesaikan akar masalah---kurangnya teladan, krisis keluarga, atau tekanan sosial. Pengamat pendidikan Satriawan Salim memperingatkan risiko stigmatisasi, di mana siswa dicap "mantan anak barak," serta potensi trauma psikologis. Disiplin yang dipaksakan hanya akan menghasilkan efek sementara, bukan perubahan yang abadi.

Lebih jauh, tanpa pendekatan holistik seperti pesantren, pendidikan militer bagi masyarakt sipil ibarat menyimpan api dalam sekam. Kenakalan remaja bukan hanya soal perilaku, tetapi jiwa yang kehilangan arah. Jika hanya mengandalkan disiplin fisik, program ini hanya menekan gejala, bukan menyembuhkan. Tanpa bimbingan spiritual, kenakalan bisa meledak kembali saat remaja kembali ke dunia nyata. Bayangkan seorang remaja yang pulang dari barak, tampak disiplin, tetapi hatinya masih bergejolak karena nilai-nilai hidup belum tertanam. Inilah mengapa pendidikan militer tanpa pendekatan pesantren berisiko sia-sia---seperti api yang tertutup sekam, siap menyala kapan saja,berbeda dengan sesungguhnya militer yang selamanya terikat kode etik dan tidak kembali menjadi masyarakat biasa.

Pesantren adalah oase pembinaan jiwa. Di sini, remaja belajar taqwa, empati, dan tanggung jawab melalui pengkajian, shalat berjamaah, dan kehangatan bimbingan kyai, firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 153 mengingatkan: "Wahai orang-orang yang beriman, carilah pertolongan dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar." Ayat ini menjadi kompas bagi remaja, mengajarkan bahwa shalat dan kesabaran adalah melatih menuju akhlak mulia. Penelitian Muharram (2024) menegaskan bahwa nilai-nilai Islam di pesantren mencegah kenakalan secara preventif. Zaini, anggota DPRD Jawa Barat, mengusulkan pesantren sebagai jalan utama, dengan pendekatan hati ke hati yang memadukan ilmu agama, disiplin, dan kasih sayang. Di Jawa Barat, pesantren telah lama menjadi pilar pembinaan, mengintegrasikan agama dengan kegiatan kreatif seperti seni tradisional dan kewirausahaan, yang relevan bagi generasi digital.

Kita bisa bercermin pada Dedi Mulyadi sendiri Gubernur visioner ini, yang tidak ter-record kenakalan dimasa remajanya, apakah beliau dibentuk oleh barak militer?, melainkan oleh pendidikan holistik yang merangkai nilai-nilai kesundaan---silih asih (saling mencintai), silih asah (saling mengasah), silih asuh (saling mengasuh)---dengan keagamaan yang kokoh. Nilai-nilai ini, seperti diteliti Sulandari dan kawan-kawan (2020), melahirkan karakter yang berempati dan bertanggung jawab. Perjalanan Dedi adalah bukti bahwa pendidikan berbasis budaya lokal dan agama mampu mencetak pribadi unggul tanpa pelatihan militer. Nilai kesundaan, yang menjunjung harmoni dan kepekaan sosial, selaras dengan pesantren yang mengutamakan pembinaan jiwa.

Saya teringat kisah Asep, remaja 16 tahun dari Kabupaten Bandung Jawa Barat, yang pada 2023 terlibat tawuran antargeng sekolah. Bolos sekolah dan bergabung dengan kelompok yang kerap bentrok, Asep dipengaruhi lingkungan dan kurangnya perhatian orang tua yang sibuk bekerja. Setelah ditangkap polisi, ia diikutkan dalam program pembinaan di sebuah pesantren, di sana Asep belajar shalat, berdiskusi dengan kyai, dan mengikuti pelatihan seni tradisional Sunda serta kewirausahaan. Terinspirasi ayat "Carilah pertolongan dengan sabar dan shalat", ia menemukan ketenangan dan tujuan hidup. Kini, Asep aktif di komunitas pemuda masjid dan bercita-cita menjadi pengusaha. Data Kementerian Agama Jawa Barat (2023) mencatat bahwa 65% remaja bermasalah yang mengikuti pembinaan pesantren menunjukkan perubahan perilaku positif dalam enam bulan, seperti yang dialami Asep.

penulis bukan tidak setuju dengan Pendidikan militer , tetapi harus diracik dengan pendekatan ruh pesantren. Tanpa nilai spiritual dan budaya lokal, program ini hanya fatamorgana---tampak megah, tetapi kosong makna. Bayangkan pelatihan militer yang diperkaya pengajian, dialog antar-siswa, dan nilai silih asih. Ini bukan sekadar pembinaan, tetapi kelahiran kembali karakter remaja. Zaini mengingatkan bahwa pesantren adalah permata Jawa Barat. Namun, pesantren juga perlu berinovasi, dengan metode seperti pelatihan kewirausahaan atau digitalisasi viral, untuk menarik remaja dalam potensi yang beragam.

Pemerintah Jawa Barat mesti merangkul pesantren, tokoh budaya Sunda, dan komunitas lokal untuk merajut pembinaan remaja. Sekolah, keluarga, dan psikolog juga harus menjadi pilar, bukan menyerahkan beban kepada barak ansih. Niat baik Dedi Mulyadi patut dihargai, tetapi pendekatan instan militer jangan dijadikan antibiotik kenakalan. Namun pendidikan yang menyentuh jiwa, seperti di pesantren dan pendidikan nilai harus menjadi kompas sejati. Tanpa pendekatan ini, kebijakan militer hanya menyimpan api kenakalan yang siap menyala kembali. Boleh kita terinspirasi dari Dedi Mulyadi, yang dibentuk oleh budaya dan agama untuk membangun generasi Jawa Barat yang berkarya dengan akhlak mulia, karena itu bagian dari prinsip "al-muhafadhotu 'ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah" -'Memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik'.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun