Mohon tunggu...
Ahmad Khoiron
Ahmad Khoiron Mohon Tunggu... Guru -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memetik Bintang

8 Januari 2017   09:26 Diperbarui: 8 Januari 2017   10:07 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Yah.. petikkan bintang!" Ujar putriku dalam gendonganku, saat saya dan istri saya berjalan pulang dari menghadiri acara Musyawarah. Suasana pedesaan yang sepi ditambah malam yang semakin pekat, rumah-rumah yang sudah nampak mendekap pemiliknya dalam buaian mimpi.

Langsung saja, kata-kata cita membuatku ingat akan ciri dari berfikir secara filsafat. Salah satunya adalah radikal yang dalam bahasa yunaninya Radix yang berarti akar. Artinya berfikir sampai ke akar-akar persoalan. Artinya pernyataan putri saya sudah masuk dalam ranah berfikir terhadap sesuatu dalam bingkai yang tidak tanggung-tanggung, tidak ada sesuatu pun yang terlarang untuk difikirkan. Kecuali tentang Dzat Allah, disini ada batasannya sesuai dengan dalil "berfikir lah tentang mahluk Allah, janganlah kau berfikir tentang Dzat Allah". Apalagi kalimat dalam ayat-ayat Al-Quran pun banyak yang mendukung kebebasan dalam berfikir, mulai dari afala ta'qiluun, afala tadabbaruun, afala tatafakkaruun, afala tadzakkaruun...

Dan juga, Sri Paus di hadapan para peraih Nobel pada tanggal 9 Mei 1983 di Vatikan, mengatakan ".... Pengalaman mengenai masalah Galileo-Galilei, membawa gereja kesuatu sikap yang lebih dewasa. Gereja belajar melalui pengalaman dan pemikiran tersebut dan ia kini mengetahui dengan lebih baik bahwa baik bahwa harus diberi kebebasan dalam usaha-usaha penelitian ilmiah...". Hal tersebut telah menjadi bukti bahwa aqal memang memiliki kedudukan yang tinggi bagi setiap manusia yang beragama. Lewat akal lah, Nabi Ibrahim ( Abraham) dapat menemukan Tuhan, meski harus melalui proses yang lama. Memang penelitian adalah peran utama dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban.

Yang patut direnungkan adalah Akal setiap manusia memiliki kemampuan yang berbeda-beda, maksudnya manusia dalam mengembangkan pengetahuan memiliki cara-cara yang berbeda, kalau dalam peribahasa bisa dikatakan, "banyak jalan menuju Roma". Sehingga sekolah bukanlah satu-satunya sumber pengetahuan, tapi ada banyak sumber pengetahuan selain disekolah. Pada akhirnya "manusia itu sendiri sering terpenjara oleh asumsi yang dibentuk oleh pandangan umum" atau "takut keluar kotak (out of the box).

Dan akhirnya, karena perbedaan cara, pemahaman, dan pendapat yang berbeda adalah anugrah dari Tuhan, bahkan kita dituntut untuk menghormati dan menghargai perbedaan itu. Kenapa harus dipermasalahkan? atau bahkan kenapa harus "menjatuhkan" terhadap orang yang berbeda pandangan? Padahal Rasulullah Sholla Allahu 'alahi Wa Dalam bersabda, "perbedaan yang ada di ummatku adalah Rahmat..."

Dan inti dari luasnya pengetahuan, tingginya derajat keilmuan itu tergantung pada "Akhlak", sesuai dengan hadits "innama buitstu Li utammima alahlaq". Dan mengapa kalian yang mengaku berilmu, bahkan bergelar dengan gelar akademik yang berderet dibelakang maupun didepan namanya masih saja meremehkan dan mencaci?

Daripada ngurusi pencaci, maka mari kita petik bintang saja nak....

Jambangan, 7 Januari 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun