Mohon tunggu...
ARAYRI
ARAYRI Mohon Tunggu... Guru - Adzra Rania Alida Yasser Rizka

Sampaikanlah Dariku Walau Satu Ayat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dilema Pramuka di Sekolah

20 Oktober 2014   20:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:21 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14137853051647084178

[caption id="attachment_330084" align="alignnone" width="448" caption="foto pribadi"][/caption]

Pramuka menjadi tren banyak sekolah saat ini. Bukan karena kegiatannya yang dirindukan tetapi karena statusnya yang wajib berdasarkan kurikulum 13. Entah dari mana wangsitnya sehingga pramuka dijadikan sesuatu yang wajib bagi siswa. Termasuk di sekolah tempat saya bekerja, pramuka menjadi kegiatan baru yang rutin dilakukan tiap minggu dan wajib bagi kelas X untuk menghadirinya. Hal ini menjadi dilema, kenapa? karena pramuka sebenarnya adalah sesuatu yang sukarela. Ga percaya? Coba aja liat buku Boyman  (2013, Sunardi, halaman 4).

Apa jadinya jika sesuatu yang harusnya sukarela menjadi wajib? Keterpaksaan pastinya. Jika sudah terpaksa apakah dapat dilaksanakan dengan suka hati? Tentu tidak. Tidak akan khusu, tidak akan hikmat dan tidak akan dapat meresapi segala makna yang tersiat maupun tersurat. Yang ada hanya cape, bosan, dan males. Lantas bagaimana?

Konon katanya terjadi pertentangan antara pihak pramuka dan pihak yang punya regulasi. Yang buat regulasi maksa agar dibuatkan rambu-rambu oleh pihak pramuka tetapi pihak yang dimintai tolong ga mau, kenapa? Ya karena tadi, pramuka itu bukan paksaan tetapi sukarela! Mankanya sampai sekarang pramuka itu ga jelas dimana wajibnya, ada yang bilang ekskul wajib, ada yang bilang intrakurikuler, Ga jelas.

Kenapa si, pramuka itu sukarela? Jelas, itu karena pramuka butuh kemauan, keinginan, kerja keras dan yang paling penting, enjoy! Standar. Pramuka itu harus dilakukan dengan rasa senang. Jika sudah senang maka, apa yang diinginkan dari pramuka terhadap anggotanya dapat terwujud. Anggota akan lebih ikhlas dan ridho dalam melaksanakan kegiatan sehingga kewajiban yang termaktub dalam dasadarma terpenuhi. Jika ga suka, gimana mau bisa?

Pengalaman saya, ketika melaksanakan pramuka di sekolah, banyak siswa yang menanyakan kala hari pramuka tiba. “Pak ada pramuka ga hari ini?” Saya balik bertanya “Emang kenapa?”, “Males pak, udah sore, cape”. Waduh kalau sudah begitu saya mau bilang apa? Maksapun ga enak. Pada akhirnya saya bilang “Udah jalanin aja dulu, buat kalian wajib loh di kurikulum 13”. “Yaah Bapak” gitu komennya. Salah kali jawaban saya ya?

Kadang saya ga tega jika menemui kondisi seperti itu. Sambil terus bertanya kepada diri sendiri, apa si yang menjadi landasan pramuka itu wajib? Kalo kata temen saya, ya mungkin karena yang buat regulasi pengen semua siswa kaya anak pramuka, baik-baik, bisa ngatur lalu lintas, bisa membantu nenek menyeberang, patriotik. Waduh, kalau untuk membuat siswa menjadi baik, ga perlu mewajibkan pramuka deh. Banyak cara lain, banyak jalan menuju Roma! karena jika kita memaksakan semua melalui jalan yang sama, jalan akan ramai, kegiatanpun tidak fokus, perhatian pembina dan yang dibina terpecah.

Jalan lain gimana? Contoh. Berbuat baik dan menumbuhkan rasa empati serta simpati dapat terjadi jika di sekeliling mereka bertaburan banyak contoh orang baik. Apakah guru di sekolah atau orang tua di rumah yang mencontohkan, atau keduanya. Saya cukup optimis jika itu yang diinginkan tinggal menggenjot guru, orang tua, atau publik figur yang ada di sekelilingnya untuk berbuat baik, penuh simpati dan empati antar sesama, serta ramah dengan alam sekitar. Cara lain misalnya dengan memanfaatkan kegiatan OSIS di sekolah yang penuh dengan kegiatan sosial kemanusiaan, pengumpulan dana untuk korban bencana alam, penghijauan, dan berbagai even lainnya dengan melibatkan sebanyak mungkin siswa sehingga semua dapat berkontribusi di dalamnya.  Cara lain: Ikut ekskul yang mirip seperti PMR atau Pecinta Alam atau Paskibra.

Jalan selanjutnya: pilih yang praktek langsung, yang sifatnya to the point dan menarik! Lha itu kan sebelas duabelas, mirip-mirip  dengan pramuka? Jiwanya sama, iya, tapi bagi sebagian orang, pramuka itu bukan cuma itu, banyak embel-embelnya: baris berbaris, upacara, seragam, dan lain sebagainya, termasuk penggunaan semapur yang katanya jadul, permainan yang kalah bersaing dengan outbond modern, sehingga menurut mereka tidak penting dan membosankan, sedangkan bagi sebagian lainnya, mereka suka.

Oleh karena itu menurut saya, kewajiban pramuka bagi tiap siswa di sekolah kudu dievaluasi ulang, atau diperjelas maunya pramuka itu seperti apa, walaupun ada otonomi tetapi rambu-rambu harus tegas. Apakah pramuka harus dengan pakaian, lengkap atribut dan segala kegiatannya atau cuma menjiwai pramuka dalam kehidupan sehari-hari? apakah wajib atau sukarela? sehingga sekolah dapat melaksanakan apa yang diminta sesuai kebutuhan dan siswapun tidak akan terpaksa. Pramukanya sendiripun akan berkualitas karena diisi oleh orang-orang yang memang niat dan suka. Kalau perlu sang pembuat regulasi harus berkonsultasi dulu dengan para penggiat pramuka yang agar klop.

Saya yakin semua orang akan setuju jika kita mencoba meneladani kebaikan yang bisa diserap dari pramuka, tanpa harus mewajibkan kegiatannya bagi tiap siswa. Karena terus terang, ada yang suka dan ada yang ga. Yang suka monggo, yang ga suka cari jalan lain. Atau mungkin cukup dengan mempraktekan kebaikan-kebaikan pramuka dalam kehidupan sehari-hari. Indikatornya adalah siswa menjadi anak baik, ga melakukan kekerasan, ga tawuran, ga asusila dan hal jelek lainnya. Saya pikir itu cukup.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun