Oleh: Ahmad Hilmi, Lc., M.H
Kalangan awam agama, termasuk saya, seringkali dibuat kagum terheran-heran, kemudian meyakini 100% ketika ada satu pendapat atau semacam statemen yang "ditempeli" dalil ayat al-Quran dan Hadis. Seakan-akan pendapat itu sudah pasti benar karena ada dalilnya.
Memang benar, bahwa al-Quran dan Hadis adalah dua sumber primer hukum Islam. Keduanya adalah dalil. Dan keduanya tak akan pernah salah.
Tapi akan menjadi masalah jika menempatkan ayat dan hadis (pendalilan) bukan pada tempatnya. Lebih masalah lagi, pendalilan yang kurang tepat itu di-iyakan dan diyakini kebenarannya oleh banyak orang.
Padahal, menempatkan sebuah ayat dan hadis sebagai sebuah dalil, bukan perkara mudah yang bisa dikerjakan oleh kalangan awam. Itu ranah ulama.
Tapi lagi-lagi, penyakit "latah" agama ini sudah merebak kalangan awam. Sedikit-sedikit tanya dalil, "mana dalilnya, surat apa ayat berapa?" , Atau, "ada gak hadisnya di soheh Bukhari?"
Dikiranya, dalil agama itu hanya Quran dan hadis saja. Masih ada ijma', qiyas, maslahat mursalah, Â Sadd dzariah, fath dzariah dll.
Dan akhirnya, memperlakukan Quran dan hadis sebagai objek "comot" tanpa ilmu.
Jargon, "kembali kepada al-Quran dan Sunnah", adalah jargon sakral. Tapi hari ini, dijadikan semacam pembolehan bagi siapa saja untuk berijtihad dan mendalil walaupun tanpa ilmu. Kalaupun ada ilmu itu ilmu "cocok lagi" . Toh kalangan awam pun tidak akan tau, pendalilan itu tepat atau tidak, sesuai kaidah berijtihad atau tidak. Yang penting ada ayat dan hadisnya. Ini bisa disebut mal-praktik ilmu agama. Bahaya sekali.
-----
Keterangan:
Dua gambar poster yang saya post ini, contoh ngawur penggunaan dalil. Tapi saya yakin, ini sudah memakan banyak korban.