Dimata umat islam,Al-Qurán Surat Al-Haj (22) ayat 27: “Dan serulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai onta (sampai) kurus yang datang dari berbagai penjuru yang jauh2”, adalah merupakan sebuahsurat undangan dari Tuhan yang wajib dipenuhi oleh umat islam untuk beribadah haji sebagai tamu Allah. Tapi bukankah Tuhan Yang Maha Adil juga menegaskan bahwa: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya……”?(Q.S.Al-Baqarah (2):286).
Maka atas Kemurahan dan Kebijaksanaan-Nya, Tuhanpun telah mengingatkan kepada manusia, bahwa: “….melaksanakan ibadah haji(memang) merupakan kewajiban manusia terhadap Allah, (tapi hanya) bagi orang yang memiliki kemampuan(kuasa) melakukan perjalanan ke Baitullah…”(Q.S.Ali-Imran 97).
Pengertian “ memiliki kemampuam” dalam ayat tersebut tentu saja amat luas, tak sebatas kemampuan finansil, tetapi juga kemampuan lainnya seperti faktor keamanan misalnya. Kasus 177 calon jemaah haji Indonesia yang menggunakan Paspor (illegal) Pilipina, hanya salah satu contoh dari mereka yang memaksakan diri menunaikkan ibadah haji yang sebenarnya belum termasuk wajib, karena terhalang oleh ketidak mampuanmereka menempuh prosedur yang berlaku (menunggu lebih dari 20 tahun?) sehingga mereka lebih memilih jalan pintas dengan melakukan pelanggaran pemalsuan paspor yang berakibat menyulitkan diri mereka sendiri dan merepotkan Pemerintah RI.yang
sedang disibukkan mengatasi kasus penyanderaan WNI. di Pilipina. Tindakan tersebut dapat kita analogkan dengan orang yang sakit tapi tetap berpuasa di bulan Ramadhan, padahal Qurán menegaskan, kaum muslimin memang diwajibkan puasa Ramadhan, tapi tidak diwajibkan bagi mereka yang sakit atau pepergian dan bisa diganti pada hari yang lain (S.Al-Baqarah 183). Jika atas pertolongan Tuhan, dengan berpuasa malah sembuh, bersukurlah. Tapi kalau justru bertambah parah sakitnya karena berpuasa, janganlah menyalahkan Tuhan, resiko ditanggung sendiri. Karena Tuhan tidak mewajibkan seseorang melakukan sesuatu diluar kemampuannya(Q.S.2:286).
Demikian pula kalau sistim quota yang diberlakukan oleh negara Saudi Arabia dianggap menjadi penghalang bagi pelaksanaan ibadah haji, itu urusan negara Saudi dengan Tuhan, yang menurut saya alasannya cukup rasional, demi ketertiban pelaksanaan ibadah haji yang harus kita hormati dan tidak akan mengurangi pahala niat haji seseorang meskipun tidak terlaksana karena terhalang faktor diluar kemampuan dirinya.
Anehnya, jalan pikiran seperti itu (memaksakan diri yang sebenarnya tidak wajib), kurang terlihat dalam hukum zakat yang sama2 termasuk rukun islam. Lebih mengherankan lagi, bagi mereka yang ingin mengerjakan haji lebih dari satu kali yang kedudukan hukumnya juga bukan wajib melainkan hanya sunah. Padahal masih banyak ibadah lain yang bisa dilakukan, terutama yang berkaitan dengan ibadah maliah atau ibadah sosial seperti zakat dan sadaqah yang manfaatnya bisa dirasakan orang lain, sesuai ajaran islam bahwa sebaik2nya manusia adalah yang memberi manfaat bagi orang lain.
Usaha Menteri Agama meminta tambahan quota haji sebanyak 10.000 patut kita hargai, meskipun Pemerintah Saudi Arabia belum bisa memenuhi tahun ini. Demikian pula keinginan Pemerintah Indonesia untuk menggunakan sisa quota haji dari negara lain seperti negara Pilipina sekitar 2000 yang ditolak Pemerintah Saudi Arabia, juga merupakan usaha mulia Pemerintah Indonesia untuk mengurangi hambatan dan memudahkan pelaksanaan ibadah haji umat islam Indonesia.
Tapi sekali lagi, kalau semua hambatan tersebut belum bisa teratasi karena menyangkut kewenangan negara lain (Saudi Arabia), maka tidak selayaknya seseorang memaksakan diri menjalankan ibadah haji dengan menempuh jalan yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dari negara yang bersangkutan, bagaikan seorang tamu yang tidak diharapkan kedatangannya oleh tuan rumah. Bukankah Nabi Muhammad saw. sendiri hanya satu kali menjalankan ibadah haji pada tahun 10 H.
Meskipun perintah ibadah haji telah diturunkan 4 tahun sebelumnya (tahun 6 H)?. Selain karena faktor keamanan, menurut para ahli sejarah islam, beliau ternyata lebih mengutamakan kepentingan ekonomi terlebih dahulu demi kesejahteraan umat islam yang diwujudkan dalam bentuk ibadah sosial, daripada memaksakan diri melakukan ibadah individual dengan biaya yang lebih besar, sesuai arti kandungan ayat Al-Qurán S.Ali-Imran 97 bahwa ibadah haji hanya diwajibkan bagi mereka yang telah mampu dalam arti yang luas.
Jika calon jemah haji Indonesia harus menunggu lebih dari 15 tahun misalnya, mengapa setiap tahun masih dibuka pendaftaran calon haji? Jika alasannya takut berdosa karena dianggap melarang orang beribadah haji, apa bedanya dengan kebijaksanaan Pemerintah Saudi Arabia yang memberlakukan sistim quota demi kepentingan jemaah haji itu sendiri? Kecuali kalau setiap pendaftaran calon haji dibebaskan dari pembayaran dan tanpa pembatasan usia, mungkin akan meringankan umat islam, karena seorang anak yang baru berusia 5 tahun misalnya, bisa didaftarkan sebagai calon haji dan ketika berusia 30 tahun (setelah menunggu 25 tahun) bisa langsung berangkat setelah melunasi pembayaran.
Jika tak mampu membayar, hukumnya ya tidak wajib dan bisa diberikan kepada pendaftar berikutnya. Sistim quota di Indonesia sebaiknya juga tak perlu dibagi setiap propinsi, cukup dipusatkan langsung ke Departemen Agama/Dirjen Haji (via online) untuk menyederhanakan administrasi dan menghindari komersialisasi.