Masa depan pangan Papua bukan ditentukan oleh banyaknya pestisida, melainkan oleh bagaimana kita mengubah serangga dari musuh menjadi sekutu. Dengan riset sederhana---mengenali musuh alami, menjaga refugia, dan memakai agen hayati---petani bisa panen besar, sehat, dan lestari.Karena dengan pestisida memang terbasmi namun efek di kemudian hari terhadap spesies lain Dan kesehatan manusia.
Racun yang Jadi Kebiasaan
Selama puluhan tahun, pertanian kita terlalu bergantung pada pestisida kimia. Di Papua pun, pola ini masih kuat. Setiap kali hama datang, solusi instan adalah menyemprot. Akibatnya, tanah jadi miskin unsur hara, air tercemar, bahkan serangga hama makin kebal. Biaya produksi naik, sementara petani tetap mengeluh rugi. Ini adalah lingkaran setan yang harus segera diputus.
Papua, Tanah Kaya Biodiversitas
Papua punya modal besar untuk keluar dari jebakan pestisida. Tanahnya subur, iklimnya tropis, dan yang terpenting: biodiversitasnya sangat tinggi. Banyak predator alami seperti kepik koksi (lady beetle), lacewing hijau, atau belalang sembah yang bisa memangsa hama. Ada pula parasitoid seperti Trichogramma yang menyerang telur penggerek batang padi dan jagung. Semua ini adalah "pasukan gratis" yang sesungguhnya sudah ada di sekitar kebun, hanya saja selama ini tidak dimanfaatkan.Jika biodiversitas ini dijaga, maka Papua bisa menjadi model pertanian yang berpihak pada alam. Pertanian yang tidak hanya menghasilkan panen, tapi juga menjaga keseimbangan ekosistem.
Strategi Baru: Dari Refugia hingga Agen Hayati
Bagaimana cara mengubah serangga dari musuh menjadi sekutu? Strateginya sederhana, murah, dan bisa dipraktikkan:
- Refugia
Petani bisa menanam bunga di pematang sawah atau tepi kebun---seperti kenikir, bunga matahari, atau kemangi. Tanaman refugia ini menyediakan nektar dan tempat hidup bagi predator serangga. Ketika hama datang, predator sudah siap memangsa. - Agen Hayati
Indonesia sudah memiliki banyak produk biopestisida legal berbasis jamur Beauveria bassiana, Metarhizium anisopliae, atau bakteri Bacillus thuringiensis (Bt). Produk ini aman bagi manusia dan lingkungan, tapi efektif melemahkan ulat daun, penggerek, hingga trips pada vanili. - Monitoring & Ambang Kendali
Petani perlu mengubah pola pikir: jangan menyemprot sebelum waktunya. Gunakan perangkap feromon atau lem kuning untuk memantau populasi hama. Jika jumlah hama masih di bawah ambang ekonomi, biarkan musuh alami yang bekerja. - Rotasi & Tumpangsari
Jangan biarkan hama betah di satu jenis tanaman. Dengan menanam jagung bergilir dengan kacang tanah, atau bayam ditumpangsarikan dengan sayuran lain, siklus hama akan terputus. Ini cara lama yang sering dilupakan, padahal terbukti efektif.
Hasil Besar, Biaya Lebih Kecil
Praktik-praktik sederhana ini membawa banyak manfaat. Dari sisi ekonomi, biaya pembelian pestisida bisa ditekan hingga 30--40 persen. Dari sisi sosial, petani lebih sehat karena tidak terpapar bahan kimia berlebih. Dari sisi lingkungan, kualitas tanah dan air terjaga, sementara keanekaragaman hayati meningkat.Yang lebih penting, hasil panen tidak kalah---bahkan cenderung stabil karena ekosistem lebih seimbang. Padi bebas wereng, jagung tidak habis dimakan ulat grayak, bayam lebih segar tanpa residu kimia, dan vanili lebih aman dari trips serta kutu putih.
Papua sebagai Lumbung Ekologi
Mengapa strategi ini penting untuk Papua? Karena di tanah inilah Indonesia bisa membuktikan bahwa pembangunan tidak harus selalu identik dengan industri ekstraktif atau operasi keamanan. Papua bisa menjadi lumbung pangan ekologi, tempat di mana pertanian tumbuh sejalan dengan kelestarian.Jika model pertanian Papua berhasil, ia bisa ditiru di daerah lain. Indonesia bahkan bisa tampil di pasar global dengan label baru: "produk ramah lingkungan berbasis musuh alami."