Mohon tunggu...
Ahmad Gufron
Ahmad Gufron Mohon Tunggu... peneliti madya

menulis dan analisa politik, ekonomi dan pertanian, hukum agama islam

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Reformasi SOP: Strategi Baru polri hadapi Demo di zaman Gen Z

13 September 2025   09:38 Diperbarui: 13 September 2025   09:38 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Demonstrasi di Indonesia, dari waktu ke waktu selalu muncul baik skala sedikit maupun banyak, terus menunjukkan dinamika yang berubah cepat. Jika dahulu unjuk rasa identik dengan ekspresi spontan rakyat terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, kini demonstrasi telah memasuki babak baru: penuh strategi, dipetakan dengan taktik, dan tidak jarang ditunggangi oleh kepentingan lain yang jauh dari substansi. Dalam konteks ini, aparat keamanan masyarakat dalam hal ini kepolisian, dituntut untuk tidak hanya menjaga ketertiban, tetapi juga melakukan adaptasi taktis agar tetap mampu mengendalikan situasi tanpa menimbulkan eskalasi konflik yang merugikan kantor dan kendaraan. Salah satu kelemahan utama dalam penanganan demonstrasi saat ini adalah SOP (Standar Operasional Prosedur) yang cenderung mempertahankan SOP lama dan mudah terlihat kelemahannya. Tidak sedikit perusuh atau pihak-pihak tertentu yang justru mempelajari pola aparat dalam setiap penanganan aksi massa. Hasilnya, SOP yang awalnya dibuat untuk menciptakan ketertiban justru dijadikan celah untuk menghindari deteksi atau menciptakan kericuhan terstruktur.

Oleh karena itu, sudah waktunya kepolisian menerapkan pendekatan baru: Reformasi yakni SOP yang bersifat dinamis, fleksibel, dan disesuaikan dengan kondisi lapangan secara real-time. Filosofinya sederhana: seperti bunglon yang mengubah warna kulitnya sesuai dengan lingkungan, aparat juga perlu memiliki SOP yang dapat diubah-ubah sesuai perkembangan situasi. Tujuannya bukan untuk mempermainkan massa, melainkan untuk mencegah pola keamanan menjadi tidak bisa ditebak oleh oknum perusuh yang menyamar di tengah demonstran damai.

SOP yang Mudah Ditebak: Celah Bagi Perusuh.     Setiap aksi massa pasti memiliki dua sisi: mereka yang sungguh-sungguh menyuarakan aspirasi, dan mereka yang hanya ingin memancing kekacauan serta memanfaatkan situasi. Dalam banyak kasus, perusuh sengaja menggunakan momentum unjuk rasa untuk menciptakan kekacauan yang memancing emosi publik dan menimbulkan citra buruk terhadap negara. Ketika aparat menggunakan SOP lama tanpa model yang banyak,  misalnya, pola formasi barikade, penggunaan alat penghalau massa, atau titik-titik konsentrasi pasukan maka perusuh dapat dengan mudah mengatur skenario untuk menciptakan kekacauan tanpa langsung terdeteksi. Dalam dunia siber,dan AI ada istilah "honeypot" perangkap yang tampak seperti celah, namun sebenarnya jebakan. Dalam konteks penanganan demo, SOP yang dinamis bisa berfungsi layaknya honeypot terhadap perusuh: membuat mereka kebingungan, tidak bisa membaca strategi aparat, dan akhirnya sulit melakukan aksi destruktif yang terorganisir.

Kebersihan Lokasi: Pencegahan Sebelum Penindakan.             Selain pembaruan SOP dengan  berbagi   model , satu aspek yang sering diabaikan adalah penataan dan kebersihan lokasi sebelum demo dimulai dengan berkoordinasi ppsu diawasi oleh kepolisian dan satpol PP. Di banyak kota besar, area yang akan digunakan untuk demonstrasi biasanya penuh dengan benda-benda yang berpotensi dijadikan alat kekerasan batu, bambu, potongan kayu, hingga besi dari proyek pembangunan. Dalam hal ini, petugas PPSU atau dinas kebersihan setempat dapat dilibatkan untuk melakukan sweeping dan pembersihan material berbahaya sebelum massa datang.Langkah ini tidak serta-merta menghalangi aksi unjuk rasa, tapi menjadi bentuk pencegahan dini terhadap potensi anarkisme. Demonstrasi yang berlangsung tanpa akses terhadap alat-alat berbahaya akan lebih sulit berubah menjadi bentrokan. Dengan kata lain, mencegah lebih baik daripada menindak.

SOP Bukan Alat Represif, Tapi Strategi Kecerdasan.        Yang perlu ditegaskan dalam pendekatan Reformasi ini adalah bahwa perubahan SOP bukan berarti tindakan represif atau otoriter. Justru sebaliknya, ini adalah bentuk kecerdasan aparat dalam menjaga ketertiban tanpa memperbesar potensi bentrokan. Dengan pola yang tidak bisa ditebak, aparat bisa bertindak secara lebih terukur, dengan presisi yang tinggi, dan tetap dalam kerangka hukum serta HAM. Kepolisian sebagai alat negara seharusnya tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, tapi juga kemampuan intelijen, teknologi, dan kreativitas taktis. Demonstrasi adalah ruang demokrasi, tetapi ruang tersebut harus tetap aman---bukan hanya untuk pemerintah, tapi untuk rakyat sendiri.

Menjaga Demokrasi, Bukan Membungkam Aspirasi.          Menerapkan Reformasi bukan berarti mematikan semangat demokrasi. Justru sebaliknya, ini suatu langkah untuk menjaga ruang demokrasi tetap sehat dan tidak dicemari oleh kekerasan serta kerusuhan. Demonstrasi damai adalah hak konstitusional warga negara. Namun ketika hak ini disusupi oleh kekuatan destruktif, maka negara wajib hadir untuk menjaganya dengan cerdas,dengan opsi yang beraneka ragam bukan dengan brutal.

Indonesia membutuhkan pola baru dalam menghadapi dinamika sosial yang terus berubah. Jika demonstran kini bisa menyusun strategi dan membaca pola apparat penanggulangan demontrasi, maka aparat pun wajib menaikkan kualitasnya. Sudah waktunya kepolisian meninggalkan pola lama yang mudah ditebak, dan mulai mengembangkan SOP yang luwes, inovatif, serta kontekstual.Demokrasi bukan hanya soal siapa yang boleh bicara, tetapi juga tentang siapa yang mampu menjaga agar ruang bicara itu tidak berubah menjadi ladang kekerasan. Dan dalam tugas ini, Reformasi bisa menjadi salah satu kunci luwes sesuai dengan perkembangan massa demo.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun