Mohon tunggu...
Ahmad fauzan
Ahmad fauzan Mohon Tunggu... Universitas Hasanuddin

Selamat datang di blog saya! Halo, pembaca setia! Terima kasih telah mampir ke blog ini, tempat di mana saya berbagi informasi, cerita, dan inspirasi dari berbagai topik menarik. Apakah Anda pencinta hiburan, pengamat tren terkini, atau sekadar mencari bacaan santai di waktu luang? Di sini, saya memiliki sesuatu untuk semua orang! Blog ini dibuat dengan tujuan untuk memberikan konten yang informatif, relevan, dan pastinya menyenangkan untuk dibaca. Saya berusaha menghadirkan tulisan yang segar, baik itu tentang teknologi, gaya hidup, hiburan, hingga tren budaya populer yang sedang hangat dibicarakan. Selain itu, saya juga ingin menjadikan blog ini sebagai ruang diskusi bagi pembaca. Jadi, jangan ragu untuk meninggalkan komentar, berbagi pendapat, atau bahkan memberikan ide untuk topik yang ingin Anda baca di sini. Mari jadikan blog ini sebagai tempat di mana kita bisa belajar, berbagi, dan tentunya menikmati konten-konten yang saya sajikan. Tetaplah bersama saya untuk mendapatkan tulisan-tulisan yang menarik setiap minggunya! Selamat membaca dan semoga hari Anda menyenangkan!

Selanjutnya

Tutup

Diary

Cermin Retak dan Wajah yang Tak Selesai Disusun

16 Mei 2025   18:41 Diperbarui: 16 Mei 2025   18:41 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang perempuan yang menatap pantulan dirinya di cermin pecah (Sumber: Pexels/Andrea Piacquadio)

Dalam diamnya, ia berbisik: "Kamu tak harus utuh untuk disebut manusia."

Ada cermin tua di sudut kamar yang tidak pernah benar-benar memantulkan bayangan dengan utuh. Retaknya menyilang dari ujung ke ujung, membelah wajah siapa pun yang berdiri di hadapannya menjadi potongan-potongan kecil seolah masa lalu dan masa kini tak bisa berdamai dalam satu bingkai.

Dahulu sebelum retak itu ada, cermin ini biasa digunakan ibu untuk membenahi sanggulnya. Aku sering mengintip dari balik pintu, melihat bagaimana wajahnya perlahan menjadi pemandangan paling tenang di pagi hari. Namun waktu berjalan dan kehidupan menumpuk beban di pundak kami semua. Tak ada yang benar-benar utuh sejak itu termasuk pantulan kami di kaca.

Kini, ketika aku berdiri di depannya, yang kulihat bukan hanya wajahku. Ada bayangan kekhawatiran, lelah, dan sejenis luka tak bernama yang terpantul samar. Retakan itu seakan menjadi garis pemisah antara siapa aku yang dulu dan siapa aku sekarang antara topeng yang harus kupakai dan raut sebenarnya yang bahkan tak kukenal lagi.

Cermin itu tak hanya retak karena terjatuh. Ia retak karena menyimpan terlalu banyak cerita-cerita tentang tangis yang tak terdengar, tawa yang dipaksakan, dan pertanyaan yang tak pernah selesai: "Apakah ini wajah yang seharusnya?"

Wajah yang kulihat setiap hari bukan sekadar bentuk. Ia adalah representasi dari pencarian identitas yang belum selesai. Aku menyusun ulang senyum, memperbaiki kerutan, menata alis seperti menyusun puzzle. Namun ada bagian-bagian yang selalu terasa hilang bagian yang mungkin telah diambil oleh kehilangan, kekecewaan, atau keputusan-keputusan yang dahulu kuanggap benar.

Cermin itu menjadi tempat di mana aku belajar menerima kenyataan bahwa kita semua adalah proses. Bahwa wajah yang belum selesai disusun bukanlah kelemahan, tapi justru kekuatan. Kita diberi ruang untuk tumbuh, untuk memperbaiki diri, dan untuk menerima bahwa tidak semua bagian dari kita harus bisa dijelaskan.

Dan mungkin, memang kita tak perlu menjadi utuh untuk merasa cukup.

Dalam pecahan-pecahan itu, aku melihat keberanian untuk tetap menatap. Melihat betapa wajah manusia tak hanya terdiri atas daging dan tulang, tetapi juga dari cerita-cerita yang menempel di kulitnya. Wajahku dengan segala kekurangannya adalah peta dari semua yang pernah kujalani.

Cermin itu, meski retak, justru memberi kejujuran yang selama ini sering disembunyikan oleh refleksi yang sempurna. Ia menunjukkan kenyataan: bahwa tak ada manusia yang selesai dan barangkali, memang kita tak diciptakan untuk menjadi rampung, tapi untuk terus menyusun diri hingga akhir waktu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun