Dalam diamnya, ia berbisik: "Kamu tak harus utuh untuk disebut manusia."
Ada cermin tua di sudut kamar yang tidak pernah benar-benar memantulkan bayangan dengan utuh. Retaknya menyilang dari ujung ke ujung, membelah wajah siapa pun yang berdiri di hadapannya menjadi potongan-potongan kecil seolah masa lalu dan masa kini tak bisa berdamai dalam satu bingkai.
Dahulu sebelum retak itu ada, cermin ini biasa digunakan ibu untuk membenahi sanggulnya. Aku sering mengintip dari balik pintu, melihat bagaimana wajahnya perlahan menjadi pemandangan paling tenang di pagi hari. Namun waktu berjalan dan kehidupan menumpuk beban di pundak kami semua. Tak ada yang benar-benar utuh sejak itu termasuk pantulan kami di kaca.
Kini, ketika aku berdiri di depannya, yang kulihat bukan hanya wajahku. Ada bayangan kekhawatiran, lelah, dan sejenis luka tak bernama yang terpantul samar. Retakan itu seakan menjadi garis pemisah antara siapa aku yang dulu dan siapa aku sekarang antara topeng yang harus kupakai dan raut sebenarnya yang bahkan tak kukenal lagi.
Cermin itu tak hanya retak karena terjatuh. Ia retak karena menyimpan terlalu banyak cerita-cerita tentang tangis yang tak terdengar, tawa yang dipaksakan, dan pertanyaan yang tak pernah selesai: "Apakah ini wajah yang seharusnya?"
Wajah yang kulihat setiap hari bukan sekadar bentuk. Ia adalah representasi dari pencarian identitas yang belum selesai. Aku menyusun ulang senyum, memperbaiki kerutan, menata alis seperti menyusun puzzle. Namun ada bagian-bagian yang selalu terasa hilang bagian yang mungkin telah diambil oleh kehilangan, kekecewaan, atau keputusan-keputusan yang dahulu kuanggap benar.
Cermin itu menjadi tempat di mana aku belajar menerima kenyataan bahwa kita semua adalah proses. Bahwa wajah yang belum selesai disusun bukanlah kelemahan, tapi justru kekuatan. Kita diberi ruang untuk tumbuh, untuk memperbaiki diri, dan untuk menerima bahwa tidak semua bagian dari kita harus bisa dijelaskan.
Dan mungkin, memang kita tak perlu menjadi utuh untuk merasa cukup.
Dalam pecahan-pecahan itu, aku melihat keberanian untuk tetap menatap. Melihat betapa wajah manusia tak hanya terdiri atas daging dan tulang, tetapi juga dari cerita-cerita yang menempel di kulitnya. Wajahku dengan segala kekurangannya adalah peta dari semua yang pernah kujalani.
Cermin itu, meski retak, justru memberi kejujuran yang selama ini sering disembunyikan oleh refleksi yang sempurna. Ia menunjukkan kenyataan: bahwa tak ada manusia yang selesai dan barangkali, memang kita tak diciptakan untuk menjadi rampung, tapi untuk terus menyusun diri hingga akhir waktu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI