Di Desa Bekonang, Sukoharjo, aroma khas dari cairan hasil fermentasi tebu bukanlah hal asing. Warga setempat menyebutnya ciu, minuman tradisional yang telah menjadi bagian dari kehidupan dan ekonomi masyarakat sejak masa kolonial. Meskipun sering mendapat stigma negatif, ciu sejatinya adalah hasil dari proses ilmiah yang juga digunakan untuk menghasilkan etanol, bahan penting dalam industri modern seperti bahan bakar, kosmetik, dan hand sanitizer. Akan tetapi, bagi warga Bekonang, ciu adalah identitas budaya dan sumber penghidupan bagi sebagian masyarakat.
Proses pembuatannya sederhana namun menarik. Berawal dari cairan tebu segar difermentasi dengan ragi, lalu disuling untuk mendapatkan kadar alkohol tertentu. Di sinilah letak keunikannya, dibalik kesederhanaan dapur tradisional Bekonang, ternyata ada proses bioteknologi alami yang juga digunakan di dunia industri modern.
1. Dari Fermentasi Tradisional ke Proses Ilmiah
Desa Bekonang sejak lama dikenal sebagai daerah penghasil ciu. Tradisi ini berawal dari tetes tebu dari pabrik gula yang tidak dapat dikristalkan menjadi gula, yang disebut sebagai molasi. Tetes tebu atau molase difermentasi dengan ragi alami, kemudian disuling untuk mendapatkan kadar alkohol tertentu.
Menariknya, proses tradisional ini memiliki kesamaan dengan mekanisme ilmiah dalam pembuatan etanol di laboratorium.
Penelitian oleh Cahyaningtiyas dan Sindhuwati (2021) dari Politeknik Negeri Malang menunjukkan bahwa air tebu bisa diolah menjadi etanol dengan bantuan ragi Saccharomyces cerevisiae yang masyarakat Bekonang sendiri menyabutnya dengan istilah Laru. Ragi ini berfungsi memecah glukosa menjadi etanol dan karbon dioksida pada suhu sekitar 30C selama 72 jam. Hasilnya?
Penambahan 50 gram ragi menghasilkan etanol 5%.
Penambahan 100 gram menghasilkan etanol hingga 10%.
Artinya, semakin banyak ragi, semakin banyak juga gula yang terurai menjadi alkohol. Proses ilmiah ini ternyata sama persis dengan apa yang dilakukan warga Bekonang saat membuat ciu, memanfaatkan waktu dan ragi untuk menghasilkan cairan beralkohol alami. Masyarakat mungkin tidak menyebutnya sebagai proses biokimia, tapi secara tidak sadar mereka telah mempraktikkan dasar bioteknologi sederhana.
2. Tetes Tebu dan Teknologi Flokulasi
Sementara itu, Wardani dan Pertiwi (2013) dari Universitas Brawijaya melakukan penelitian tentang produksi etanol dari tetes tebu (molase) --- sisa pengkristalan gula. Mereka meneliti menggunakan Saccharomyces cerevisiae jenis pembentuk flok, ragi yang bisa menggumpal dan mengendap dengan cepat. Dengan kondisi fermentasi selama 72 jam, suhu 30C, dan kadar gula 15%, penelitian ini menghasilkan etanol 8,79% dengan efisiensi 65%.
Keunggulan metode ini adalah penghematan biaya produksi karena tidak perlu proses penyaringan rumit. Kalau ditarik ke konteks Bekonang, teknologi ini bisa jadi inspirasi untuk mengembangkan produksi etanol legal dan ramah lingkungan yang bernilai ekonomi tinggi, bukan hanya ciu konsumsi.
3. Teknologi dan Tradisi: Dua Dunia yang Sebenarnya Satu
Menariknya, tanpa sadar masyarakat Bekonang sudah lama mempraktikkan bioteknologi sederhana. Mereka tahu bahwa air tebu, ragi, dan waktu bisa menghasilkan cairan yang "berdaya." Kini, ilmu modern membuktikan bahwa proses itu bukan sekadar tradisi, tapi bagian dari reaksi biokimia fermentasi glukosa menjadi etanol, obat, hingga kosmetik.
Dengan pengetahuan yang sama, Bekonang punya peluang besar untuk bertransformasi dari kampung ciu menjadi sentra produksi bioetanol rakyat. Tradisi tetap hidup, tapi arah tujuannya bisa lebih maju, dari dapur rumahan menuju laboratorium industri.
4. Dari Dapur Tradisional ke Energi Masa Depan
Kisah Bekonang memberi pelajaran bahwa pengetahuan lokal tak kalah bernilai dari laboratorium modern. Masyarakat Bekonang telah lama mempraktikkan sains tanpa label "ilmiah". Fermentasi yang dulu dianggap sekadar cara membuat minuman keras, kini justru menjadi kunci dalam pengembangan energi terbarukan. Masyarakat Bekonang telah lebih dulu mengenal prinsip sains itu, hanya saja mereka menyebutnya dengan nama lain: ciu. Dan dari cairan tradisional inilah, kita belajar bahwa masa depan energi bisa lahir dari kearifan masa lalu.
Referensi
Cahyaningtiyas, A., & Sindhuwati, C. (2021). Pengaruh Penambahan Konsentrasi Saccharomyces cerevisiae pada Pembuatan Etanol dari Air Tebu dengan Proses Fermentasi. Jurnal Distilat, 7(2), 89--94.
Wardani, A. K., & Pertiwi, F. N. E. (2013). Produksi Etanol dari Tetes Tebu oleh Saccharomyces cerevisiae Pembentuk Flok (NRRL--Y265). Jurnal Agritech, 33(2), 131--139.
Makhyarini, I., & Normalina, N. (2020). Prarancangan Pabrik Bioethanol Dari Tetes Tebu Dengan Proses Fermentasi Kapasitas 37.000 Ton/Tahun. Jurnal Tugas Akhir Teknik Kimia, 3(2), 1-5.
Kartika, A. A. (2022). Analisis kadar alkohol pada minuman tuak dan arak menggunakan metode berat jenis dan kromatografi gas-FID. Acta Holistica Pharmaciana, 4(2), 80--106.
Hanifah, L. N. (2023). Kajian Literatur: Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Alkohol danDampak Alkohol Terhadap Kesehatan Berdasarkan Teori Perilaku. Media Gizi Kesmas, 12(1), 453--462. https://doi.org/10.20473/mgk.v12i1.2023. 453-462.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI