Ada satu hal yang tak bisa dibeli oleh harta, tak bisa ditukar dengan jabatan, dan tak bisa diukur oleh angka: yaitu rasa dihargai, dicintai, dan dimuliakan oleh mereka yang dulu hanya datang sebagai siswa... namun kini memeluk kami seolah kami adalah orang tua kandung mereka.
Di TSYM, ada yang berbeda. Mereka tak sekadar belajar jurus, kuda-kuda, atau bela diri. Mereka belajar hidup. Mereka menjadikan rumah kami sebagai rumah mereka. Mereka tak lagi memanggil kami sebagai pelatih, atau guru, atau sekadar pembina. Mereka memanggil kami Bapak dan Ibu. Dan panggilan itu... bukan basa-basi. Bukan sekadar kebiasaan. Tapi lahir dari hati.
Terkadang suatu malam, lewat tengah malam malah, telepon saya berdering. "Bapak sudah tidur?" tanyanya pelan. Saat saya jawab belum, tak lama kemudian mereka datang. Hanya untuk bercerita. Tak ada keluhan, tak ada urusan penting. Hanya ingin dekat, ingin bicara. Ingin merasa punya rumah.
Ada kalanya mereka datang berkunjung, bukan sendiri, tapi membawa pasangan, membawa anak-anak mereka. Menginap di rumah kami seperti anak pulang ke rumah orang tua. Kami makan bersama, kadang hanya dengan nasi sisa, jagung, atau ketela bakar. Tapi tak ada keluhan. Karena yang penting bukan apa yang dimakan, tapi dengan siapa kami duduk bersama.
Bahkan ketika kami berkunjung ke rumah-rumah mereka, seorang tetangganya bertanya, "Siapa mereka ini? Kok ramai?" Dan dengan bangga, orang tua dari anak TSYM itu menjawab, "Mereka saudara-saudaranya anak saya. Dan ini... Bapaknya."
Dan merekapun masih dengan bangga menyebut saya dengan panggilan "Bapak" dan "Ibu" dihadapan orang tua mereka sendiri.
Bagaimana mungkin hati ini tidak luruh? Bagaimana mungkin air mata tak menetes? Padahal tak pernah kami beri mereka uang, hadiah, atau fasilitas mewah. Tapi mereka beri kami cinta yang begitu dalam. Mereka anggap kami milik mereka, tempat pulang mereka.
Itulah sebabnya saya sering katakan---kadang dengan nada bangga---bahwa mereka adalah kesombongan saya. Karena banyak yang punya siswa, banyak yang punya atlet, banyak yang melahirkan juara. Tapi tak semua diberi anugerah seperti saya dan istri saya: anak-anak yang menganggap kami orang tuanya.
Ini bukan cerita tentang sebuah cabang perguruan silat. Ini adalah KISAH CINTA. Tentang ikatan yang tumbuh karena ketulusan, karena kebersamaan, karena kasih sayang yang dibalas kasih sayang.
TSYM, Anakku Selamanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI