Mohon tunggu...
Lafon
Lafon Mohon Tunggu... Freelancer - Tukang

Penikmat Sepak Bola dan Tukang Mantau Timur Tengah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bijaksana dalam Memperkenalkan Gawai kepada Anak

8 April 2019   15:40 Diperbarui: 8 April 2019   16:28 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: intisari.grid.id

Sejak pertama kali kemunculannya, gawai telah mengalami perkembangan sangat pesat. Dalam satu tahun, satu produk bisa mengeluarkan 4-5 model gawai, tentunya dengan perbedaan pada spesifikasi dan benefit. Gawai tidak hanya merambah kaum millennial, tetapi juga merambah semua kalangan usia, mulai dari balita, anak-anak, hingga manula. Tunggu dulu, balita? anak-anak? Betul, penggunaan gawai di kalangan anak-anak bukan hal yang aneh lagi di era ini, bahkan banyak anak-anak yang lebih mahir dibandingkan orang tuanya.

Anak-anak tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Ada peran orang tua dibalik semua itu. Saya seringkali mengamati respon orang tua terhadap anaknya ketika sedang rewel atau menangis. Tanpa perlu repot dan berpusing ria, para orang tua ini kemudian menyodorkan video animasi anak yang ada di gawai mereka. Spontan, si anak langsung tenang dan berhenti menangis. Saya yakin fenomena semacam ini terjadi di semua tempat.

Memang tidak salah jika menjadikan gawai sebagai pelipur lara bagi anak ketika sedang menangis atau rewel, tetapi dampak yang ditimbulkan juga harus diperhatikan. Lama-kelamaan gawai justru akan berubah menjadi penyebab anak menangis karena orang tua melarang untuk menggunakannya. Ironisnya, si anak justru seringkali menjadi objek yang disalahkan, padahal mereka juga berperan penting dalam mengenalkan gawai ke anak-anak.

Gawai memang menawarkan obat ampuh untuk menenangkan anak, tetapi juga mengandung 'zat adiktif' yang mampu membuat penggunanya ketagihan. Bagi saya, lebih baik menenangkan anak dengan cara-cara lama seperti yang dilakukan orang tua kita, yaitu dengan menghibur sebisa mungkin dengan menggunakan mainan anak atau objek apapun selain gawai, meski sedikit repot.

Kendati demikian, kita tidak bisa selamanya melarang anak untuk tidak menggunakan gawai, terlebih kita hidup di zaman yang menganggap gawai sebagai kebutuhan primer. Namun, pada titik ini orang tua harus membuat keputusan tepat di usia berapa anak diperbolehkan bermain gawai. Biarkan anak bermain dengan lingkungan, kawan, dan mainan anak ketika mereka masih berusia di bawah lima tahun atau ketika masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Baru ketika menginjak usia 6 tahun, orang tua bisa mengenalkan gawai dengan pengawasan dan bimbingan secara ketat.

Tidak hanya itu, orang tua juga harus membatasi waktu penggunaan gawai, seperti hanya 1-2 jam dalam satu hari atau hanya pada waktu hari libur. Hal ini dilakukan untuk menghindari efek kecanduan kepada anak, sehingga si anak tidak menganggap gawai sebagai hiburan atau objek permainan utama. Biasanya, permasalahan yang muncul adalah larangan orang tua untuk tidak bermain gawai berbanding terbalik dengan prilaku orang tua yang justru tidak bisa jauh dari gawai.

Dalam hal membatasi penggunaan gawai pada anak, sebenarnya pemerintah juga bisa hadir di dalamnya, seperti yang akan dilakukan China. Mengutip dari bloomberg.com dikatakan bahwa mulai bulan Juni nanti, China mewajibkan layanan short video seperti TikTok untuk memasukkan fitur Youth Mode. Fitur ini berfungsi untuk membatasi akses pengguna muda di aplikasi dengan durasi penggunaan hanya 40 menit sehari. Selain itu, dengan mengaktifkan fitur ini, aplikasi tidak bisa dipakai pukul 10 malam hingga pukul 6 pagi.

Kita tahu, selama ini pemerintah Indonesia belum pernah menerapkan kebijakan serupa dalam upayanya untuk mengurangi penggunaan gawai di kalangan anak. Dibandingkan dengan melabeli halal-haramnya, sebaiknya pemerintah juga mewajibkan aplikasi-aplikasi yang sering digunakan anak untuk menyediakan fitur youth mode atau regulasi serupa yang lebih konkret.   

Ada banyak manfaat yang didapatkan jika orang tua benar-benar mampu mengawasi dan membimbing anak dalam menggunakan gawai. Misalnya, menunjukkan video atau permainan sederhana yang mampu meningkatkan kemampuan anak dalam memahami huruf dan angka. Selain itu, si anak juga bisa belajar menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa asing melalui instruksi-instruksi yang terdapat dalam permainan. Dengan jangkuannya yang luas, orang tua juga bisa memperkenalkan hal-hal bermanfaat yang tidak ditemui di lingkungannya.

Sekali lagi, gawai menyimpan banyak ancaman dan manfaat bagi penggunanya. Menghindarkan anak dari gawai bisa dikatakan sangat sulit. Meski bisa dilakukan di lingkungan keluarga, tetapi di rumah belum tentu si anak mendapat jaminan untuk tidak bermain gawai bersama teman-temannya. Perasaan dilematis semacam ini juga pernah terasa di lingkup keluarga saya, menyuruh anak bermain bersama teman-temannya agar tidak bermain gawai secara terus-menerus, tetapi di luar sana semua temannya sibuk dengan gawai masing-masing. Oleh karena itu, butuh upaya bersama dalam menciptakan meminimalisir penggunaan gawai di kalangan anak-anak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun