Mohon tunggu...
Ahmad Afandi
Ahmad Afandi Mohon Tunggu... Lainnya - Buruh

Masih Belajar Menulis (Kembali) !!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Burung Pentetku

7 Desember 2020   18:54 Diperbarui: 7 Desember 2020   19:01 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku berlari bersama Aji setelah menjemputnya di rumah. Kutunjuk sangkar burung yang kugantungkan di teras rumah kepadanya, berharap bahwa dia akan terkejut melihat burung pentet yang baru kubeli satu jam yang lalu. "Wih, Fan ini harganya berapa?" tanya Aji kagum. Aji melihat-lihat burung piaraan baruku dari kursi hijau tempat ia berdiri, burung itu terbang menggelepar ke sudut-sudut sangkar berbentuk lonjong itu.

"Kamu tahu Ji, ini kubeli dengan uang tabunganku lho. Itulah kenapa aku bulan lalu menolak ikut Dicky dan Esya pergi ke kolam renang Ubalan, ya buat beli ini," jelasku kepada Aji sambil kulepas seragam pramuka yang kupakai hingga menyisakan kaos dalam dan celana pramuka saja.

Burung pentet ini kubeli karena ingin ikutan tren saat ini yaitu memelihara burung kicau. Sejak tahun lalu tren memelihara burung dimulai, bermula dari seorang petani yang memelihara burung kutilang yang kicauannya cukup merdu dan nyaring. Usut punya usut ternyata ia memelihara kutilang itu sejak bayi yang dimana sarangnya bisa ditemukan di pohon-pohon besar di persawahan sebelah utara desaku.

Mengetahui hal itu, banyak warga mulai berbondong-bondong berburu burung kicau dengan berbagai cara, misalnya dengan menjaring burung. Sejak saat itu transaksi jual-beli, toko-toko, dan lomba burung kicau mulai muncul di desa sehingga dimulailah tren memelihara burung ini.

Obrolan mengenai burung kicau merupakan makanan sehari-hari di desaku, bukan hanya orang dewasa namun juga anak-anak sekolah dasar seperti diriku. Di sela-sela obrolan tentang tugas sekolah selalu ada topik burung kicau. Dicky merupakan salah satunya, bapaknya merupakan penggemar burung kicau kelas berat. 

Hal itulah yang membuat Dicky tahu segala sesuatu tentang burung kicau bahkan dia sendiri yang merekomendasikan diriku untuk membeli burung pentet. Menurutnya, burung pentet itu bisa berkicau menirukan suara burung lain bahkan hewan lain, ia bahkan sempat mengantarku ke rumah salah satu temannya yang memelihara burung pentet yang kicauannya mirip dengan suara anak kucing. Sejak tahu bahwa burung ini bisa meniru suara hewan lain, aku pun tertarik dan alhamdulillah bisa membelinya.

Aku dan Aji masih duduk di teras rumah, memandangi burung pentetku sambil selonjoran di lantai berkeramik merah. Lantai tersebut cukup berdebu akibat hembusan angin di musim kemarau sehingga sesekali kusingkirkan debu yang menempel tersebut dari kakiku sambil tetap memandangi sangkar burung itu.

Burung itu hanya melompat-lompat di sangkar dan tetap diam, tak berkicau. Aji sesekali mencoba bersiul di dekat sangkar tersebut sambil berjinjit, namun bukannya menanggapi siulan tersebut burung itu malah menggelepar ketakutan hingga sangkar lonjong itu bergoyang.

Aku sempat berpikir mungkin diriku salah memilih burung, namun segera kusingkirkan pikiran itu sebab teringat nasihat dari Dicky saat melihat burung pentet milik temannya waktu itu. "Kalau kamu pengen burung piaraanmu bisa seperti itu, kamu harus rajin melatihnya di rumah," kata Dicky sambil menunjuk sangkar hitam besar milik temannya.

Aku bingung bagaimana cara melatih burung ini, ini merupakan burung piaraanku yang pertama kalau salah dilatih bisa gawat. Bukannya berkicau takutnya nanti burung ini malah serak kicauannya dan bahkan bisu. Kekawatiranku muncul setelah melihat burung kacer milik bapaknya Dicky yang bisu karena salah dalam pelatihannya.

Aji mengajakku untuk pergi bermain ke rumahnya karena bosan menunggu burung ini berkicau. Aku terdiam sejenak saat ia mengajakku, "mungkin burung ini stres karena dari tadi kuganggu dengan Aji. Barangkali kutinggal sebentar burung ini mau berkicau?" pikirku. Aku dan Aji pun mulai memakai sandal kami dan berjalan meninggalkan teras menuju rumah Aji.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun