Mohon tunggu...
Ahmad Afandi
Ahmad Afandi Mohon Tunggu... Lainnya - Buruh

Masih Belajar Menulis (Kembali) !!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Makhluk Sungai

27 November 2020   15:05 Diperbarui: 27 November 2020   15:19 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terik matahari menyinari jalan setapak menuju sungai yang kulalui. Paman Rodrigo sudah menunggu di tepi dermaga kecil dari bambu yang tertutup oleh rimbunan pohon bambu, duduk sambil memandangi sungai dan beberapa wadah tanaman obat. Paman dan Ayah adalah petani hutan, hampir sepenuh hidupnya bergantung atas hasil hutan sementara Ibu adalah pembuat ikan asin. Kami tinggal di sebuah desa yang jauh dari akses layak pemerintah, sumber penghidupan kami hanya hutan dan sungai besar yang biasa kulalui ke sekolah saat ini. Dulu aku bersekolah di sekolah bentukan para aktivis dan tentara pemberontak yang berada di kaki bukit, namun karena pertempuran sengit dengan pemerintah setahun yang lalu membuat sekolahku dulu hancur dan sekarang aku harus menyeberang sungai sepanjang 7 Km untuk sampai di sekolah baruku yang ada di bukit seberang. Aku bersyukur sekali bisa sekolah di sana sebab keterbatasan biaya membuat diriku tak mampu disekolahkan ke luar kota sementara di sekolah ini hanya memungut biaya berupa kebutuhan hidup para tentara pemberontak yang diberikan semampunya saja, ibuku misalnya selalu memberikan ikan asinnya untuk biaya sekolahku.
"Paman sudah lama menunggu ya?" tanyaku sambil berlari kecil menghampirinya. Ia tersenyum padaku kemudian berdiri dan mulai mencoba menyalakan mesin perahunya. Kilauan cahaya matahari menyinari pistol yang berada di celah sabuk paman, ia selalu membawanya jikalau hal-hal buruk terjadi padanya. Mesin mulai menyala, aku duduk di bagian depan diantara kumpulan tanaman obat yang sudah didapat paman. Perahu mulai melaju di sungai yang tenang dan keruh, sesekali kumainkan tanganku di air dan melihat ke arahnya. Aku sering berpikir yang aneh-aneh, kadang terbesit kalau didasar sungai ini ada semacam ikan raksasa yang siap melahap siapa saja atau pusaran air yang tiba-tiba muncul di dekat jeram yang ada. Tapi pikiranku itu seketika lenyap ketika melihat beberapa perahu yang melintas dan mulai menyapa paman dengan senyuman serta lambaian tangan. "Ka Rodrigo," sapa salah satu orang diatas perahu sedang menjala ikan berada di samping kanan perahu kami. Aku tahu orang tadi adalah seorang pemberontak begitu juga paman, selain senjata laras panjang yang ia bawa juga dari sapaan yang ia gunakan pula. Sapaan "Ka" artinya saudara seperjuangan.
Kunikmati perjalanan ini dengan melihat rimbunan pohon bambu di kanan-kiri sungai serta burung-burung yang terbang diantaranya. Namun, suatu ketika aku melihat sesuatu yang aneh berupa makhluk berukuran sebesar kambing berjalan di rimbunan semak dan pohon bambu ke arah sungai. Aku belum melihat sebegitu jelas sebab jaraknya masih agak jauh, yang bisa kulihat hanya punggung hitamnya saja. Ketika jarak perahu kami mulai mendekati posisinya, tiba-tiba makhluk itu masuk ke dalam sungai. Cipratan airnya begitu keras hingga suaranya terdengar mengalahkan suara mesin perahu kami. "paman lihat itu ada hewan besar masuk ke dalam sungai!" kataku sambil menunjuk gelombang bekas ceburan makhluk tadi ke paman."ah paling cuma buaya, paman sering lihat seperti itu," jawab pria usia 40 tahunan itu sambil memandangiku tenang. Paman memang lebih mengetahui tentang sungai ini daripada aku, sejak remaja paman melalui sungai ini untuk pergi ke bukit seberang mencari tanaman obat untuk dijual. Ia pernah bercerita padaku 2 bulan yang lalu tentang kisahnya dengan kawan-kawannya saat menangkap labi-labi raksasa berukuran 25 meter saat ia berumur 18 tahun. Namun aku tidak rabun, aku benar-benar melihat makhluk itu berbeda dengan buaya dan tampak jelas makhluk itu memiliki punggung tanpa duri.
Kami melanjutkan perjalanan dan aku masih kepikiran dengan makhluk itu. Aku terus memandangi air sungai tersebut sambil berpikir aneh-aneh lagi bahwa makhluk tadi entah itu buaya atau bukan sedang mengikuti kami dari dalam air. Kualihkan pandangan ke arah sebelah kanan perahu dan seketika terkejut melihat ada sesuatu yang berwarna hitam mendekat ke arah perahu kami dengan cepat. Saking cepatnya aku tak sempat bilang ke paman dan benda hitam itu menabrak bagian samping perahu kami. Seketika aku terhempas ke kiri begitu juga perahu kami, sementara paman tersontak kaget dan berusaha menyeimbangkan perahu yang mulai oleng. Perahu kami menerobos ranting-ranting dan daun pohon bambu yang menjulang di pinggir sungai namun kami tidak menepi hanya berada di pinggiran sungai saja. Sambil kusingkirkan ranting dan daun bambu yang menghalangiku, perahu mulai diarahkan paman ke tengah sungai seperti tadi. "apa itu tadi?" tanya paman heran, paman menoleh ke arah belakang dan samping perahu kami sementara aku terus memandangi ke arah air keruh tersebut. "ada yang tidak beres di sini Diaz, ayo segera pergi dari sini!" kata paman yang mulai agak panik, belum lama kami beranjak dari tempat itu, muncul lagi benda hitam misterius itu dari arah kiri dan menabrak perahu kami lagi.
Perahu kami terhempas ke kanan namun paman berhasil menstabilkan perahu sehingga kami bisa melaju kembali. Paman kemudian mengeluarkan pistol dari celah sabuknya, ia acungkan pistol ke arah depan sambil menyuruhku menunduk. Kututupi kepalaku dengan kedua tangan sambil menunduk menghadap arah samping kanan perahu. Paman mengarahkan bidikannya ke arah samping kiri kemudian secara perlahan mengarahkannya ke arah sebaliknya. Tentu perahu kami berjalan cukup pelan sebab paman tak mampu membidik ketika bergerak dengan cepat, hal itu pulalah yang menyebabkan perahu kami diguncang lagi untuk ketiga kalinya. Ketika guncangan terjadi aku terhempas dan membentur dinding perahu, paman berusaha menyeimbangkan diri dan ketika kulirik dia saat merintih kesakitan akibat benturan tadi ia mulai berdiri dan membidik bagian kanan perahu. "Dor,dor,dor,dor" letusan pistol itu mengarah ke sungai dan cipratannya mengenaiku.
Sempat kupikir bahwa tembakan paman mengenai makhluk itu dan mati, namun tidak ternyata. Kami dihantam lagi dari depan dengan lumayan keras hingga kami berdua terhempas ke arah belakang. Kepala paman terbentur setir dari mesin perahu, sementara aku hanya tertimbun tanaman obat yang berhasil didapat paman. Saat kami berusaha mau bangkit, tiba-tiba perahu ini berat sebelah dan rasanya seperti ada yang berusaha naik ke perahu. Saat diriku mulai menoleh ke arah depan, aku benar-benar terkejut melihat 2 buah capit besar berada di ujung depan perahu. Capit itu mencengkeram erat bagian samping ujung perahu kemudian diikuti benda lonjong hitam dan benda yang panjang menggeliat muncul dari air. "Awas Diaz!" perintah paman. Kemudian "dor,dor,dor,dor" suara tembakan meletus dari arah paman dan mengenai makhluk itu. Paman kemudian mendekat dan menendangi capit makhluk itu seraya berkata, "Pergi kau, pergi!". Makhluk itu seperti merintih, suaranya begitu serak dan memekakkan telingaku dan paman dengan satu kakinya berusaha menyingkirkan capit makhluk itu.
Akhirnya usaha paman tak sia-sia, makhluk itu mulai menyerah dan melepaskan cengkeramannya dari perahu dan masuk ke dalam air. Melihat hal tersebut paman mulai menyalakan mesin perahu kembali dan mencoba meneruskan perjalanan. Namun sepertinya kami tidak dibiarkan lepas begitu saja, makhluk itu kembali menghantam perahu kami di bagian samping kanan belakang. Paman terhempas ke kiri dan terjungkal ke depan. Kali ini makhluk itu mencoba naik ke perahu kami lagi tapi dari sisi kiri dan disitulah aku berpikir bahwa makhluk itu tidak bercapit ternyata. Hal yang kukira capit tersebut lebih mirip cakar yang tertutup oleh cangkang gelap. Cakar tersebut mulai mencengkeram erat bagian samping perahu kami dan muncullah benda lonjong dan benda panjang yang menggeliat yang kulihat tadi. Makhluk itu tetap mencoba naik ke atas perahu seperti tadi namun lagi-lagi paman terus menembakinya dan setiap tembakan itu mengenai tubuh makhluk itu, ada cairan hijau yang keluar dari tubuhnya.
Tembakan paman tampak sia-sia, makhluk itu masih mencoba untuk naik dan kali ini makhluk itu berhasil. Kaki-kaki panjangnya tampak mengait di sisi perahu dan cakar kirinya meraih dinding perahu sebelah kanan, disitulah mulai tampak wujud makhluk itu. Benda lonjong hitam itu adalah matanya sementara benda panjang menggeliat itu adalah sungutnya, namun yang membuatku ngeri adalah bagian mulutnya. Mulutnya berbentuk bulat semacam pipa yang terus mengecap dengan gigi-gigi yang mengitarinya. Wujud makhluk itu mirip dengan udang raksasa namun dengan mulut berbentuk pipa pengisap serta dua sungut seperti cambuk. Paman berusaha melawan makhluk itu dengan menusukkan sebatang bambu tua yang biasa digunakannya untuk menepikan perahu ketepian jika tak ada dermaga ke mulut makhluk itu. Sayangnya batang bambu itu kurang kuat dan bahkan tidak menusuk mulutnya, paman hanya mengenai pinggirannya saja. Kemudian makhluk itu mengayunkan cakar kanannya ke arah paman dengan posisi cakarnya itu tertekuk. Lengan dari makhluk itu mampu merentang cukup panjang sehingga mampu melempar paman cukup jauh dan membuatnya tercebur ke air.
Makhluk itu mengerang dengan keras ke arahku, kini tinggal aku dan dia si udang raksasa. Makhluk itu mulai mendekatkan dirinya ke arahku sambil berusaha menjaga keseimbangan di atas perahu. Mulutnya terus mengecap dan sesekali terbuka lebar. Perahu mulai sedikit oleng sebab makhluk ini terus mendekat  ke arahku sambil menjaga keseimbangan ekornya di dalam air. Mulut dan gigi makhluk itu mulai menyambutku serta mata hitamnya menatapku dengan tajam, aku siap jadi santapannya. Aku berusaha melawan, batang bambu tadi tidak terlempar bersama paman sehingga kugunakan untuk menahan makhluk itu. Kurentangkan bambu itu secara horizontal seolah jadi perisaiku dalam menahan yang mencoba memakanku dengan mulut pipa bergiginya itu. Makhluk itu terus mendesak dan mendorongku dengan sekuat tenaga, dia tidak menggunakan cakarnya saat melawanku sebab dia menggunakannya untuk menahan perahu. Beruntung menurutku sehingga aku hanya main bertahan saja namun sampai kapan aku seperti ini. Makhluk itu sebesar kambing yang sekarang tepat di depan mataku sendiri, sementara aku hanya seorang bocah laki-laki kurus berumur 10 tahun yang sering sakit-sakitan.
Air mulai masuk dari tempat makhluk itu naik, sementara aku meringis menahan kuatnya dorongan tubuh makhluk ini. Aku terus berusaha mendorong sekuat tenaga hingga tanganku bergetar menahan dorongan makhluk itu. Aku melihat seperti ada retakan di bagian tengah bambu ini, aku mulai panik dan terbesit di pikiranku bahwa aku akan dihisapnya hidup-hidup. Aku masih berusaha menahan makhluk itu hingga mulut pipanya menggigit bagian tengah bambu dan mulai menariknya. Tanganku sempat ikut terangkat olehnya namun makhluk itu memuntahkannya lagi ke arahku. Bambu itu sudah patah dan terbayang sudah kalau kepala bakal remuk di kunyahnya. Makhluk itu mengerang dan mulai mendekatkan mulutnya ke arahku dan lagi-lagi kutahan dengan tanganku tepat di bagian kepalanya. Tanganku yang gemetaran tak mampu menahannya cukup lama sampai akhirnya terdengar suara tembakan.
Makhluk itu mengerang, aku mulai mendorongnya balik. Cairan hijau muncul dari tubuhnya, rintihan serak menyeruak dari mulut pipanya. Suara tembakan terus berdesing dan makhluk itu merintih kesakitan, disaat itulah kudorong tubuhnya dengan sekuat tenaga namun masih belum mampu kusingkirkan bahkan ia masih melawan diriku. Akhirnya, ada 1 tembakan yang cukup besar mengenai ekor makhluk tersebut yang membuatnya tak ada keseimbangan dan membuatnya melemah. "ini dia, pergi kau dariku!" kataku sambil mendorong makhluk itu sekuat tenaga kembali ke dalam air. Perahu kembali seimbang dan kulihat 2 pemuda berada di seberang perahu. Merekalah yang menolongku dan ternyata mereka juga pemberontak. Hal itu tampak dari topi bintang merah mereka dan senjata yang mereka bawa.
Paman berenang ke arah perahu dan mulai naik ke atas. "Ka cepat pergi dari sini!" perintah salah satu pemuda yang membawa semacam pelontar granat ditangannya. Paman mengangguk lalu menyalakan mesin perahu dan pergi meninggalkan 2 pemuda tadi. Sambil mengusap wajahnya yang basah serta napasnya yang terengah-engah paman menoleh ke belakang begitu juga aku, tampak salah satu dari pemuda tadi menembak ke arah air dengan senapan otomatisnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun