Setiap manusia pada dasarnya menginginkan kehidupan yang bermakna. Namun, kebanyakan orang seringkali salah dalam memahaminya, ada yang menganggapnya hanya sebatas kesuksesan duniawi yang tampak secara dzahir dan ada pula yang menilainya sebatas melalui tolak ukur seberapa besar pengorbanannya untuk akhirat. Padahal, dalam ajaran Islam tidak pernah sekalipun memisahkan antara urusan dunia dengan urusan akhirat. Yang seharusnya, urusan dunia dan urusan akhirat itu tidak boleh dipisahkan satu sama lain, karena keduanya merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi: dunia menjadi ladang amal dan akhirat sebagai tempat panen hasilnya. Artinya, ketika masih hidup di dunia menanamlah benih-benih kebaikan yang sebanyak-banyaknya yang kelak bisa dipanen di akhirat. Imam Ghazali pernah berkata:
الدّنيا مزرعة الأخرة وكلّ ما خلق في الدّنيا فيمكن أن يتزوّد منه للأ خرة
Artinya:
Dunia adalah ladang akhirat. Maka setiap yang diciptakan oleh Allah di dunia, bisa untuk dijadikan bekal menuju akhirat.
Hidup yang bermakna bukan hanya tentang seberapa banyak harta yang dikumpulkan, jabatan yang diraih, atau pujian yang didapat. Kehidupan sejati adalah perjalanan menuju Allah, di mana setiap langkah dan usaha menjadi bekal menuju akhirat. Islam mengajarkan bahwa dunia bukan tujuan, melainkan jalan untuk mencapai keridhaan Allah di kehidupan yang abadi nanti. Namun, mengejar akhirat bukan berarti meninggalkan dunia. Dunia adalah ladang amal yang disediakan oleh Allah, tempat manusia diuji dengan nikmat dan kesulitan. Melalui pekerjaan, pengetahuan, dan tanggung jawab sosial seorang muslim justru dapat mempersembahkan amal terbaiknya. Dalam setiap aktivitas duniawi yang diniatkan semata-mata karena Allah, tersimpan nilai ibadah yang bernilai akhirat di dalamnya. Di era modern yang serba cepat dan materialistis ini, banyak orang yang terjebak dalam dua kutub ekstrem. Sebagian terlalu fokus mengejar kenikmatan dunia hingga melupakan tujuan akhir hidupnya, sedangkan sebagian yang lainnya menjauhi urusan dunia dengan dalih zuhud sehingga melupakan tanggung jawab sosialnya sesama makhluk yang lain. Padahal, Rasulullah SAW dan para sahabatnya telah menunjukkan keseimbangan yang sempurna antara ibadah spiritual dan aktivitas duniawi (sosial), dengan cara berbaur kepada para masyarakat melalui aktivitas berkerja, berdagang, membangun hubungan sosial yang baik dengan masyarakat sambil tetap menjaga orientasi akhirat. Dengan demikian, penting bagi setiap muslim untuk menata kembali arah hidupnya. Akhirat tetap menjadi fokus utama, karena di sanalah hasil sejati akan dipetik. Maka, hidup yang bermakna adalah hidup yang seimbang: bekerja keras di dunia dengan hati yang selalu tertuju pada kehidupan akhirat.
Dalam kitab Hidayatul Qur’an Fi Tafsiril Qur’an Bil Qur’an karya KH. Afifuddin Dimyathi pada surah al-Baqarah ayat: 201, yang berbunyi:
وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّقُوْلُ رَبَّنَآ اٰتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَّفِى الْاٰخِرَةِ حَسَنَةً وَّقِنَا عَذَابَ النَّارِ (٢٠١)
Muallif menjelaskan bahwa ayat di atas memiliki makna: Dan di antara mereka ada juga yang berdoa dengan ucapan, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta lindungilah kami pada hari kiamat dari azab neraka.” Beliau juga menjelaskan bahwa:
ومن المعروف أنّ الإسلام لايرضى لمعتنقيه أن يطلبوا الأخرة فقط وينسوا حظوظهم من الدنيا, وإنما يرضى لهم أن يكونوا من المعتدلين المتوازنين بين نصيب الدنيا ونصيب الأخرة
Artinya:
“Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Islam itu tidak ingin para penganutnya hanya meminta kebaikan di akhiratnya saja dan melupakan bagian-bagiannya di dunia, akan tetapi Islam ingin para penganutnya itu seimbang dalam urusan dunia dan urusan akhirat.” Dengan ciri khas beliau dalam menafsirkan al-Qur’an dengan ayat lain yang memiliki keterkaitan atau kecocokan, ayat di atas dikaitkan dengan surah al-Qashas ayat: 77, yang berbunyi: