Mohon tunggu...
Ahmad Abni
Ahmad Abni Mohon Tunggu... Guru - Manusia akan mencapai esensi kemanusiaannya jika sudah mampu mengenal diri melalui sikap kasih sayang

Compasionate (mengajar PPKn di MTsN Bantaeng)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bencana Katalismik dan Pilkada Serentak

23 Desember 2020   07:09 Diperbarui: 23 Desember 2020   07:15 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam kehidupan sosial politik masyarakat, perempuan sering ditempatkan pada posisi marginal dan termarginalkan. Perempuan tidak mendapatkan tempat selayaknya yang juga merupakan manusia ciptaan Tuhan yang secara hakiki perlu mendapatkan perlakuan sama dengan kaum laki-laki. 

Bahkan parahnya lagi, perempuan sering kali menjadi obyek eksploitasi dan kriminalisasi ketika terjun kedalam dunia kerja karena perempuan selalu saja dipandang bahwa ruang lingkup kerjanya hanya pada sektor domestik semata sedangkan laki-lakilah yang berada pada sektor publik. 

Konstruksi sosial yang patriarki inilah yang coba ditata ulang dalam konteks politik kita di Indonesia sehingga bermunculan gerakan massif untuk membela hak-hak perempuan yang didukung oleh gagasan tentang kesetaraan gender. Gerakan-gerakan kesetaraan gender mencoba untuk mensejajarkan posisi perempuan dengan laki-laki serta berupaya untuk merubah paradigma masyarakat yang cenderung patriarki.

Kesetaraan gender berkembang tidak hanya terbatas pada dunia kerja semata melainkan telah merasuk sampai pada tataran politik baik di tingkat pusat dan daerah. 

Dalam konteks pilkada serentak yang berlangsung selama ini dan Pemilihan Anggota Legislatif (pileg) serta Pemilihan Presiden, bisa menjadi bahan pembanding apakah benar perempuan telah mendapatkan posisi sebagaimana keinginan dari para pejuang gender atau belum apalagi setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 yang memuat kebijakan yang mengharuskan Partai Politik (Parpol) menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam kepengurusan di tingkat pusat dan daerah serta pencalonan dalam pileg.

Masih sangat relevan dengan kondisi perpolitikan kita sekarang dengan apa yang dikhawatirkan oleh Itji Diana Daud. Beliau menulis sebuah esai dengan judul "perempuan dan pilkada". Itji menilai bahwa keterlibatan perempuan dalam pertarungan untuk memimpin di berbagai daerah lewat pilkada serentak utamanya di Sulawesi Selatan masih sangat rendah. Hal terbukti ketika pilkada serentak yang dilaksanakan di tahun 2018. 

Rakyatku News mengungkapkan bahwa dari 29 pasangan calon yang bertarung dalam kontekstasi pilkada serentak yang digelar di 13 daerah kabupaten kota, hanya ada enam kandidat dari kalangan perempuan. Lain halnya dengan Pemilihan Legistif tahun 2019, meskipun partai politik peserta pemilu telah berhasil memenuhi syarat pencalonan perempuan sampai 37 persen yakni 453 orang perempuan dari 1.196 calon anggota legislatif tentu angka ini masih sangat kecil karena yang terpenuhi hanya sebatas standar minimal saja.

Bagaimana dengan pilkada serentak ditanggal 9 Desember 2020 kali ini? Apakah keterwakilan perempuan sudah sesuai dengan harapan konstitusi atau belum.

Menurut Sri Nuryanti yang merupakan peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai bahwa dalam pilkada serentak tahun 2020 yang dilaksanakan di 270 daerah yakni 9 provinsi dan 37 kota serta 224 kabupaten, keterwakilan perempuan masih sangat sedikit yakni hanya sekitar 10,6 persen. Pemilihan Gubernur tercatat hanya 5 perempuan dan 45 laki-laki, dalam pemilihan wali kota terdapat 26 perempuan dan 126 laki-laki sedangkan pemilihan bupati terdapat 128 perempuan dan 1.102 laki-laki.

Hal ini adalah sebuah jawaban bahwa dominasi kaum laki-laki dalam konteks pilkada serentak dalam skala lokal dan nasional belum dapat diruntuhkan oleh para pejuang gender. Artinya, perjuangan kesetaraan gender belum mampu merubah paradigma para elit politik yang patriarki. Atau mungkin belum adanya kekompakan dari kaum perempuan itu sendiri dalam politik. Jika hal ini nyatanya betul, jangan-jangan kaum perempuan itu sediri yang berparadigma patriarki .

Sebagai seorang perempuan sekaligus seorang aktivis perempuan, Itji ingin mengungkapkan perlawanannya kepada mitos dominasi patriarki yang selama ini masih bercokol dalam paradigma masyarakat Indonesia. Itji masih sangat yakin bahwa masih sangat banyak perempuan yang mempunyai kapabilitas untuk memimpin, menjadi pembaharu, mengakomodasi perbagai kepentingan publik demi kesejahteraan bersama, tetapi belum sepenuhnya diberi kesempatan oleh elit partai politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun