Mohon tunggu...
Ahmad Said Widodo
Ahmad Said Widodo Mohon Tunggu... Sejarawan - Peneliti dan Penulis Sejarah dan Budaya

Peneliti dan Penulis Sejarah dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sejarah Situ Buleud Purwakarta

19 April 2019   04:35 Diperbarui: 12 Maret 2023   06:54 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

fb-img-1555618432120-5cb8f440a8bc1550ac0f402c.jpg
fb-img-1555618432120-5cb8f440a8bc1550ac0f402c.jpg
Manusia memang mempunyai naluri sangat kuat dalam menentukan pilihan tempat tinggal dan lain-lainnya yang memang cenderung tidak dapat dipisahkan dari unsur air. Sebagaimana lazimnya pusat-pusat kebudayaan dunia dibangun, seperti antara lain kebudayaan Sumeria kuno di Mesopotamia (di antara sungai Eufrat dan Tigris) daerah Irak sekarang, kebudayaan Mesir kuno (di tepi sungai Nil), kebudayaan Cina kuno (di antara sungai Yang Tse Kiang dan Hwang Ho) juga kebudayaan India Kuno, Mohenjo Daro dan Harappa (di antara sungai Indus dan Gangga) dan lain-lain. 

Kepindahan ibukota kabupaten Karawang dari Wanayasa ke Sindangkasih yang kemudian jadi Purwakarta telah menjadikan Purwakarta sebagai kota tempat kediaman (woonstaad)  yang kemudian juga ditandai dengan diadakannya pembangunan sarana dan prasarana (fasilitas umum dan fasilitas sosial) kota Purwakarta, dimulai dari masa pemerintahan Bupati Raden Adipati Aria Soeriawinata (Dalem Shalawat) (1829-1849) berturut-turut sampai dengan Bupati Raden Adipati Aria Soeriamihardja (Adipati Songsongkuning) (1925-1942), misalnya dengan pengurugan rawa-rawa dan lain-lain, termasuk sebuah danau atau telaga (Sunda : situ).

Situ dapat pula diartikan sebagai danau atau telaga dalam bahasa Indonesia. Dan mengingat keberadaannya, maka situ dapat dibedakan dalam 2 (dua) jenis, yaitu situ alami dan situ buatan. Sama halnya dengan keberadaan danau alami dan danau buatan seperti danau buatan Saguling, Cirata dan Jatiluhur yang terjadi akibat dibendungnya sungai Citarum. Perlu diketahui, bahwa di Purwakarta memang terdapat beberapa buah situ, seperti : Situ Buleud di Purwakarta, Situ Wanayasa di Wanayasa, Situ Cikumpay di Campaka, Situ Cigangsa di Campaka dan Situ Kamojing di Bungursari dan lain-lain.  

R.A.A. Soeriawinata (Dalem Shalawat), disebut demikian karena Beliau selalu membaca shalawat dimana saja dan kapan saja tak ada waktu yang terlewat. Konon, beliau pindah ke kabupaten di sebelah barat Situ Buleud sekarang, setelah mendapat ilafat yang diterimanya setelah shalat istikharah, antara tidur dan tidak tidur beliau mendengar suara, bahwa ibukota kabupaten Karawang harus dipindahkan dari Wanayasa ke sebelah utara dimana terdapat sebuah kolam (situ) dan 3 (tiga) batang pohon bunga tanjung serta di sanalah harus didirikan kabupaten. Konon kabupaten itu sendiri dibuat pada tahun 1829 sebelum pindah dari Wanayasa ke Purwakarta. Dalem Shalawat pindah dari Wanayasa ke Sindangkasih diikuti oleh seluruh keluarga dan pegawai kabupaten, demikian juga rakyat banyak yang mengantarkannya.

Tahun 1830-1832 Masehi, kepindahan dari Wanayasa ke Sindangkasih tidak mungkin sekaligus karena di tempat baru di distrik Sindangkasih tak mungkin dapat menampung sekaligus sarana bagi keperluan pusat pemerintahan kabupaten sebagai kenyataan di dalam tahun 1830 di distrik Sindangkasih itu masih memerlukan perluasan dengan harus membuka hutan belukar (Sunda : ngabukbak leuweung) sampai tahun 1832 yang tertunda karena kedatangan Cina Makao yang mengacaukan dan melakukan penggarongan. Setelah reda dan dapat tertumpas, setelah aman dari perusuh Cina Makao di distrik Sindangkasih dimulailah pembangunan untuk pusat pemerintahan kabupaten sebagaimana dikemukakan di atas.

Daerah kota Purwakarta yang pada waktu mulai dibangun oleh Dalem Shalawat, sebagian besar masih merupakan hutan belukar, dimana terdapat banyak alur-alur tanah yang dalam dan kering selain terdapat juga rawa-rawa. Diantaranya terdapat sebuah genangan air (situ) yang dalam yang kemudian kita kenal sebagai Situ Buleud.

Konon, menurut ceritera rakyat tempo doeloe secara tutur tinular turun temurun adalah merupakan tempat mandi (pangguyangan) binatang badak Jawa bercula satu (Rhinoceros sondaicus), yang katanya berasal dari daerah sekitar Simpeureum (Jatiluhur) dan Cikumpay (Campaka) . Badak-badak ini sama seperti saudaranya yang terdapat di dalam Taman Nasional Ujungkulon, Banten.

Alasan dan pendapat ini terlalu dipaksakan dan tidak masuk akal. Sebab rasanya mustahil satu atau beberapa ekor badak (sabubuhan) yang mau mandi (guyang) pagi atau sore seperti layaknya manusia, untuk apa mesti repot-repot berjalan sangat jauh sampai berkilo-kilo meter dari Simpeureum (Jatiluhur) dan Cikumpay (Campaka) ke daerah Situ Buleud (Sindangkasih atau Purwakarta). 

Padahal untuk menuju ke sana harus terlebih dahulu menyeberangi beberapa sungai besar dan kecil. Pastilah badak yang pintar akan lebih memilih sungai yang terdekat saja untuk mandi dan dijamin belum banyak terpolusi seperti pada masa sekarang. Misalnya badak yang berasal dari Simpeureum (Jatiluhur) tentu akan memilih mandi di sungai Citarum, sungai Cinangka, sungai Cikembang, sungai Cilangkahan atau sungai Cikao dan badak yang berasal dari Cikumpay (Campaka) akan lebih memilih mandi di sungai Cilamaya atau sungai Ciherang.

Daerah sekitar Situ Buleud, boleh jadi juga dihuni oleh banteng Sunda (Bos sondaicus), kijang (Muntiacus muncak), babi hutan (Sus scrofa), harimau Jawa (Panthera tigris sondaica), macan tutul (Phantera pardus melas), monyet (Macaca fascicularis), ular piton (Python reticulatus) dan biawak (Veranus salvator)  sewaktu Purwakarta dulu masih berupa hutan belantara (leuweung geledegan - gung liwang liwung -loba badak loba maung).

Selama masa pemerintahannya, Dalem Shalawat telah memerintahkan membuat sebuah saluran air, yaitu Solokan Gede dari Parakan Salam ke kota Purwakarta (dari Parakan Salam lewat Cihuni, Pasawahan - sebelah utara stasiun keretaapi Purwakarta sekarang, Kampung Bojong, Kampung Baru, Babakan Anyar, Situ Buleud, masuk kota Purwakarta, pabuen (penjara, Lembaga Pemasyarakatan), keluar kota Purwakarta di bawah pengawasan R. Soerakoesoema, dengan maksud untuk mengkultivasi tanah-tanah yang masih penuh hutan belukar antara Parakan Salam dan Cipaisan dan sekalian mengairi membersihkan kota sebagai saluran saniter. Bahkan konon ada yang disebut dengan Solokan Ciraden.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun