Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Sejarah Situ Buleud Purwakarta

19 April 2019   04:35 Diperbarui: 12 Maret 2023   06:54 588 0
Kepindahan ibukota kabupaten Karawang dari Wanayasa ke Sindangkasih yang kemudian jadi Purwakarta telah menjadikan Purwakarta sebagai kota tempat kediaman (woonstaad)  yang kemudian juga ditandai dengan diadakannya pembangunan sarana dan prasarana (fasilitas umum dan fasilitas sosial) kota Purwakarta, dimulai dari masa pemerintahan Bupati Raden Adipati Aria Soeriawinata (Dalem Shalawat) (1829-1849) berturut-turut sampai dengan Bupati Raden Adipati Aria Soeriamihardja (Adipati Songsongkuning) (1925-1942), misalnya dengan pengurugan rawa-rawa dan lain-lain, termasuk sebuah danau atau telaga (Sunda : situ).

Situ dapat pula diartikan sebagai danau atau telaga dalam bahasa Indonesia. Dan mengingat keberadaannya, maka situ dapat dibedakan dalam 2 (dua) jenis, yaitu situ alami dan situ buatan. Sama halnya dengan keberadaan danau alami dan danau buatan seperti danau buatan Saguling, Cirata dan Jatiluhur yang terjadi akibat dibendungnya sungai Citarum. Perlu diketahui, bahwa di Purwakarta memang terdapat beberapa buah situ, seperti : Situ Buleud di Purwakarta, Situ Wanayasa di Wanayasa, Situ Cikumpay di Campaka, Situ Cigangsa di Campaka dan Situ Kamojing di Bungursari dan lain-lain.  

R.A.A. Soeriawinata (Dalem Shalawat), disebut demikian karena Beliau selalu membaca shalawat dimana saja dan kapan saja tak ada waktu yang terlewat. Konon, beliau pindah ke kabupaten di sebelah barat Situ Buleud sekarang, setelah mendapat ilafat yang diterimanya setelah shalat istikharah, antara tidur dan tidak tidur beliau mendengar suara, bahwa ibukota kabupaten Karawang harus dipindahkan dari Wanayasa ke sebelah utara dimana terdapat sebuah kolam (situ) dan 3 (tiga) batang pohon bunga tanjung serta di sanalah harus didirikan kabupaten. Konon kabupaten itu sendiri dibuat pada tahun 1829 sebelum pindah dari Wanayasa ke Purwakarta. Dalem Shalawat pindah dari Wanayasa ke Sindangkasih diikuti oleh seluruh keluarga dan pegawai kabupaten, demikian juga rakyat banyak yang mengantarkannya.

Tahun 1830-1832 Masehi, kepindahan dari Wanayasa ke Sindangkasih tidak mungkin sekaligus karena di tempat baru di distrik Sindangkasih tak mungkin dapat menampung sekaligus sarana bagi keperluan pusat pemerintahan kabupaten sebagai kenyataan di dalam tahun 1830 di distrik Sindangkasih itu masih memerlukan perluasan dengan harus membuka hutan belukar (Sunda : ngabukbak leuweung) sampai tahun 1832 yang tertunda karena kedatangan Cina Makao yang mengacaukan dan melakukan penggarongan. Setelah reda dan dapat tertumpas, setelah aman dari perusuh Cina Makao di distrik Sindangkasih dimulailah pembangunan untuk pusat pemerintahan kabupaten sebagaimana dikemukakan di atas.

Daerah kota Purwakarta yang pada waktu mulai dibangun oleh Dalem Shalawat, sebagian besar masih merupakan hutan belukar, dimana terdapat banyak alur-alur tanah yang dalam dan kering selain terdapat juga rawa-rawa. Diantaranya terdapat sebuah genangan air (situ) yang dalam yang kemudian kita kenal sebagai Situ Buleud.

Konon, menurut ceritera rakyat tempo doeloe secara tutur tinular turun temurun adalah merupakan tempat mandi (pangguyangan) binatang badak Jawa bercula satu (Rhinoceros sondaicus), yang katanya berasal dari daerah sekitar Simpeureum (Jatiluhur) dan Cikumpay (Campaka) . Badak-badak ini sama seperti saudaranya yang terdapat di dalam Taman Nasional Ujungkulon, Banten.

Alasan dan pendapat ini terlalu dipaksakan dan tidak masuk akal. Sebab rasanya mustahil satu atau beberapa ekor badak (sabubuhan) yang mau mandi (guyang) pagi atau sore seperti layaknya manusia, untuk apa mesti repot-repot berjalan sangat jauh sampai berkilo-kilo meter dari Simpeureum (Jatiluhur) dan Cikumpay (Campaka) ke daerah Situ Buleud (Sindangkasih atau Purwakarta). 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun