Mohon tunggu...
Ahmad Dwi Andika
Ahmad Dwi Andika Mohon Tunggu... Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Airlangga

Seorang yang tertarik pada beragam topik, mulai dari teknologi, olahraga, politik, hingga musik dan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Abikoesno Tjokrosoejoso Sang Negosiator Ulung Konsensus Nasional

27 September 2025   07:00 Diperbarui: 27 September 2025   07:00 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam catatan sejarah pembentukan dasar negara kita, nama Abikoesno Tjokrosoejoso mungkin tidak sepopuler Soekarno atau Moh. Hatta. Meski demikian, perannya sebagai anggota Panitia Sembilan sangatlah penting, terutama dalam menyatukan perbedaan ideologi yang mengancam persatuan bangsa di masa-masa kritis. Abikoesno, sebagai perwakilan utama dari kelompok Islam, bukan hanya seorang pejuang yang bersemangat, tetapi juga seorang negosiator ulung yang mendedikasikan dirinya untuk persatuan di atas segalanya. Kisahnya adalah potret seorang pemimpin yang mampu mengutamakan kepentingan bangsa, sebuah teladan yang relevan hingga hari ini.


Latar belakang Abikoesno yang mendalam di dunia pergerakan nasional menjadi modal utamanya. Ia merupakan seorang tokoh terkemuka dalam Sarekat Islam (SI), organisasi pergerakan yang berakar kuat pada nilai-nilai Islam dan kebangsaan. Sebagai murid dari H.O.S. Tjokroaminoto, sosok yang menginspirasi banyak pemimpin besar, Abikoesno tidak hanya mengasah kemampuan berorganisasi dan berpolitik, tetapi juga membangun keyakinan bahwa perjuangan kemerdekaan harus berlandaskan keadilan sosial dan persatuan. Ia melihat bahwa pergerakan harus mampu mengakomodasi berbagai identitas, termasuk Islam, tanpa mengorbankan cita-cita bersama untuk merdeka. Pengalamannya inilah yang menjadikannya figur yang sangat dihormati oleh komunitas Islam dan dipercaya untuk menyuarakan aspirasi mereka di forum-forum penting seperti BPUPKI dan Panitia Sembilan.

Ketika Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) terbentuk pada tahun 1945, Abikoesno menjadi salah satu anggotanya. Di sinilah ia terlibat dalam perdebatan-perdebatan fundamental mengenai pondasi negara. Salah satu perdebatan paling panas adalah soal dasar negara, di mana dua kubu ideologi besar berhadapan: nasionalis sekuler yang dipimpin oleh Soekarno dan Mohammad Yamin, serta kelompok Islam yang dipimpin oleh Abikoesno sendiri, Wachid Hasyim, dan Agus Salim. Kelompok Islam menginginkan negara yang secara eksplisit mencerminkan nilai-nilai agama, sementara kelompok nasionalis menghendaki negara yang bersifat umum dan menjunjung tinggi semua golongan.

Di tengah ketegangan itu, Panitia Sembilan dibentuk sebagai jalan tengah untuk menjembatani perbedaan. Abikoesno menjadi salah satu dari empat wakil Islam di panitia ini, memikul tanggung jawab besar untuk memperjuangkan aspirasi umat. Perannya dalam Panitia Sembilan sangat menonjol. Ia berjuang keras agar nilai-nilai Islam, yang menjadi identitas mayoritas rakyat Indonesia, mendapatkan tempat dalam rumusan dasar negara. Puncak perjuangan mereka adalah kesepakatan yang menghasilkan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Di dalamnya, termuat tujuh kata yang menjadi simbol perjuangan ideologis: "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Bagi Abikoesno dan rekan-rekan sebayanya, tujuh kata ini adalah representasi dari komitmen negara terhadap mayoritas rakyatnya.

Namun, sejarah mencatat sebuah momen heroik dan penuh makna yang terjadi beberapa hari setelah Piagam Jakarta disepakati. Tepat sebelum proklamasi kemerdekaan, muncul keberatan dari perwakilan Indonesia bagian Timur, diwakili oleh J. Latuharhary. Mereka menyatakan tidak akan bergabung dengan Republik Indonesia jika tujuh kata tersebut tetap dipertahankan, karena khawatir hal itu akan menimbulkan diskriminasi bagi warga non-Muslim. Dalam situasi yang sangat kritis ini, di mana bangsa berada di ambang perpecahan bahkan sebelum kemerdekaan diproklamasikan, Abikoesno dan tokoh Islam lainnya menunjukkan sikap kenegarawanan yang luar biasa. Mereka rela tujuh kata tersebut dihapus demi menjaga keutuhan bangsa. Pengorbanan ideologis ini merupakan keputusan yang sangat berat dan menunjukkan visi yang jauh ke depan.

Kisah Abikoesno Tjokrosoejoso adalah cerminan dari semangat Bhinneka Tunggal Ika yang sesungguhnya. Ia memperjuangkan keyakinannya dengan sepenuh hati, tetapi juga sadar bahwa persatuan adalah fondasi utama kemerdekaan dan keberlangsungan bangsa. Kontribusinya di Panitia Sembilan bukan sekadar merumuskan kata-kata, melainkan juga membangun jembatan di atas jurang perbedaan, memastikan Indonesia lahir di atas landasan yang kokoh dan inklusif. Warisannya adalah teladan abadi tentang bagaimana seorang pemimpin sejati seharusnya berjuang: dengan gigih, namun juga dengan bijaksana, tahu kapan harus maju dan kapan harus berkompromi demi kepentingan yang lebih besar. Sikap ini mengajarkan kita bahwa persatuan tidak akan pernah tercapai tanpa adanya toleransi, pengorbanan, dan kesediaan untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun