Avelin duduk lemas di bangku lobby sebuah kantor. Dia nyaris menumpahkan air matanya bila saja Dinda tak segera memberikan tissu dan mengusapnya. Dibiarkannya Avelin menyelesaikan isaknya yang  tertahan. Dibiarkannya sahabatnya itu duduk lemas agar semua bisa dia keluarkan. Dinda hanya sesekali mengusap bahu dan memeluk sahabatnya itu. Dinda tak mau mengganggu.
Panas di luar lobby masih menyengat seolah tak puas dengan hujan yang tak turun selama bertahun- tahun di kota ini. Angin hanya sepoi dan rimbun pepohonan tak lagi jadi pemandangan di sekitar kantor itu.
" Baiklah kita pulang saja sekarang. Aku tidak sanggup berfikir bila kondisinya begini ", kata Avelin sambil menarik tangan Dinda untuk kembali ke kantor.
Sepanjang perjalanan Dinda mulai membiarkan Avelin menumpahkan semua kekesalannya.
" Aku tak habis fikir. Sudah selama 5 tahun aku berusaha mengurusi masalah ini tapi yang kudapat justru keputusan yang tak kuharapkan. Kamu tahu, Nda. Aku sudah habiskan tenaga , fikiran, finansial dan juga kesempatan untuk berkarir hanya demi mengurusi masalah ini.
Kenapa sih mereka tak mengijinkan aku berpisah dari suamiku. Toh dia sudah tak lagi menafkahi aku, membiarkanku merawat anakku tanpa ikut campur, tak memberiku nafkah bertahun- tahun. Tidakkah itu cukup beralasan bagiku untuk berpisah darinya ?" , demikian Avelin mulai mengomel dan tak puas atas keputusan dari atasannya siang itu.
Dinda hanya terdiam dan kemudian menyahut, " Bisa jadi itu keputusan terbaik untukmu. Mungkin saja suamimu masih mencintaimu . Maka wajar dia ingin bertahan dan mencoba mempengaruhi atasanmu untuk tidak memberi ijn atas permintaanmu itu", kata Dinda mencoba memapping permasalahan.
" Aku tahu dia masih mencintaiku. Tapi aku butuh masa depan yang pasti bukan laki- laki yang hanya hidup dari cinta, tidak menafkahi aku dan juga tidak mau berbagi tanggung jawab dengan aku ", Avelin semakin tambah emosional dan tak terkendali.
Suaranya semakin keras di telinga Dinda. Perlahan Dinda bangkit mendekatinya dan berbisik " Coba saja kamu sholat malam dan mintalah pentunjuk siapa tahu perpisahan itu bukan jalan terbaik bagi kalian ", kataku mencoba meredam amarahnya yang semakin meninggi.
" Sekarang apa langkahmu ? " , kata Dinda mencoba mengalihkan emosinya. Avelin tampak diam. Kelihatannya dia tak punya ide. Padahal biasanya dia wanita yang penuh dengan ide- ide yang tak ada habis- habisnya. Wajahnya kuyu, masai tak bersemangat seperti daun-daun di pohon di kantor itu yang tak pernah disiram.
Dinda gandeng Avelin ke arah pintu keluar. Dia gamit sedikit kencang takut Avelin kenapa-napa. Mungkin karena sesama wanita jadi bisa merasakan bagaimana rasanya kecewa, disakiti dan juga patah harapan. Tetapi Dinda tak mau ceritakan dan sampaikan persepsinya ke dia Dinda ingin dia menjadi wanita tangguh yang tak mudah mengeluh.