Oleh: Ahkam Jayadi
Delapan dekade Indonesia merdeka bukan sekadar angka monumental, tetapi momentum reflektif untuk menakar konsistensi dan arah perjalanan bangsa. Tema peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 2025, "Bersatu Berdaulat Rakyat Sejahtera Indonesia Maju", tidak sekadar slogan seremonial, tetapi merupakan afirmasi terhadap esensi bernegara yang harus terus diperjuangkan. Tema ini menyiratkan empat pilar utama kebangsaan: persatuan, kedaulatan, kesejahteraan rakyat, dan kemajuan nasional.
Dasar Teoretik dan Kerangka Konseptual
Secara teoretik, tema ini dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan teori negara kesejahteraan (welfare state theory) dan teori kontrak sosial klasik. Dalam kerangka welfare state, pemerintah memiliki kewajiban moral dan konstitusional untuk menjamin kesejahteraan seluruh warga negara, sebagaimana dikemukakan oleh T.H. Marshall dalam bukunya "Citizenship and Social Class" (Cambridge University Press, 1950). Sementara dalam perspektif social contract, seperti dipaparkan oleh Jean-Jacques Rousseau dalam "The Social Contract" (1762), negara harus dibangun atas dasar kehendak umum (general will) dan mengemban misi memelihara kemerdekaan, kesetaraan, dan kebersamaan. Negara didirikan oleh rakyat dan pemerintah adalah pengembang dan pelaksana amanah rakyat, negara ada dan diadakan untuk kepentingan rakyat (Pembukaan UUD 1945).
Paradigma Dari Seremonial ke Aksi Substansial
Paradigma yang hendaknya ditawarkan dalam menyikapi tema Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ke-80 ini adalah paradigma transformasional. Artinya, perayaan kemerdekaan bukan sekadar ritualistik dan simbolik, melainkan harus ditransformasikan menjadi energi kolektif untuk membangun bangsa. Bersatu bukan hanya tentang kesatuan wilayah, tetapi tentang soliditas kebangsaan yang melampaui sekat politik, sosial, dan agama. Berdaulat bukan hanya dalam pengertian yuridis, tetapi juga dalam ranah ekonomi, politik luar negeri, serta kemandirian teknologi dan pangan dalam interaksinya dengan negara dan bangsa-bangsa yang lainnya.
Sementara itu, rakyat sejahtera tidak cukup diwujudkan melalui indikator statistik semata, tetapi harus menjelma dalam rasa aman, pendidikan yang merata, lapangan kerja yang layak, dan pelayanan publik yang berkualitas. Indonesia maju tidak bisa hanya diukur melalui pembangunan infrastruktur atau pertumbuhan ekonomi makro, melainkan juga dari kemajuan peradaban, etika publik, dan kualitas demokrasi.
Konteks Data dan Tantangan Aktual
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan per Maret 2025 masih berada pada angka 8,9 persen atau sekitar 24 juta jiwa. Ketimpangan ekonomi yang diukur dengan koefisien Gini stagnan di angka 0,39. Sementara itu, indeks demokrasi Indonesia cenderung fluktuatif dan mengalami penurunan skor partisipasi publik dan kebebasan sipil dalam tiga tahun terakhir (sumber: Laporan Indeks Demokrasi Indonesia, BPS dan Bappenas 2024).
Di sisi lain, Indonesia dihadapkan pada ancaman disintegrasi sosial akibat polarisasi politik, tantangan digitalisasi tanpa regulasi yang kuat, serta ketergantungan pada sektor-sektor primer tanpa transformasi struktural. Ini menandakan bahwa cita-cita "rakyat sejahtera" dan "Indonesia maju" belum sepenuhnya terwujud secara substantif.
Refleksi Historis Amanat Para Pendiri Bangsa