Mohon tunggu...
Agus Wibowo
Agus Wibowo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Agus Wibowo, pekerjaan swasta, tinggal di semarang

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Cantiknya Megawati PDIP Lakonkan Demokrasi

20 Maret 2014   19:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:42 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1395299207532214828

[caption id="attachment_327533" align="aligncenter" width="624" caption="Headline kotaksuara.kompasiana.com | Ilustrasi/ Admin (Kompas.com)"][/caption]

.... deklarasi tanpa cawapres membuka peluang parpol lain berlomba untuk menyodorkan politisi andalannya menjadi cawapres, sebuah perlombaan, sebuah persaingan politik yang manis dalam demokrasi...

Bagian I : Aspek Elektabilitas dan Kapabilitas Capres / Cawapres

PDI Perjuangan telah mendeklarasikan pencapresan Jokowi pada Jum'at Pahing 14 Maret 2014 atau bertepatan dengan 12 Jumadil Awal 1435 H dalam penanggalan Jawa. Diklarasi yang dibacakan oleh Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani dan Sekjen Tjahjo Kumolo dikantor DPP PDIP, sementara Jokowi menyampaikan kepada media tentang pencapresannya saat berada ditengah blusukannya ke Rumah Si Pitung. Pendeklarasian dilakukan setelah Ketum PDIP melakukan ziarah ke makam ayahandanya Soekarno di Blitar Jawa Timur. Sudah jamak di kalangan masyarakat Jawa melakukan ritual Ziarah untuk berdoa di makam leluhurnya jika hendak menyelenggarakan hajatan besar keluarga.

Deklarasi capres PDI Perjuangan ini dilakukan dengan sangat sederhana tanpa panggung mewah bahkan sang Ketum Megawati pun tidak hadir selain mengirim tulisan tangan beliau dengan beberapa ejaan bahasa Indonesia jadul. Disisi lain capres Jokowi tidak berbusana Cuma dengan pakai khas Betawi kemeja putih, kpiah, dan sarung dileher kebetulan pula tidak di gedung mentereng, tetapi di Rumah Pejuang Betawi yang terkenal anti penjajahan. Jadi sebuah pendeklarasian capres yang jauh dari kesan hingar-bingar seperti dulu saat pencapresan SBY – Boediono di Bandung yang mengusung “aura” American.

Deklarasi Jokowi sebenarnya merupakan sebuah peristiwa teramat besar bagi perjalanan bangsa ini namun peristiwa besar ini dibingkai dalam sebuah lelakon sederhana, padahal disini sebuah peristiwa transisi generasi dari trah Soekarno kepada orang luar yaitu Jokowi. Megawati Soekarno Putri adalah putri proklamator yang mengalir darah pejuang kemerdekaan yang sudah barang tentu sebagai generasi penerus trah darah biru Soekarno wajib menjaga kelangsungan perjuangan leluhurnya. Akan tetapi ditangan Megawati perjuangan pembangunan bangsa dan negara kedepan ditransformasikan kepada sosok terpilih.

Permainan Demokrasi Cantik ala Megawati.

Faktor yang menjadi menarik dalam deklarasi capres Jokowi ini tidak dilengkapi deklarasi cawapres. Lalu kenapa PDI Perjuangan tidak mendeklarasikan cawapresnya sekalian? Inilah tindakan cerdas ke-5 dalam permainan catur politik Megawati (Baca Kompasiana : 5 dari 8 permainan catur dimenangkan Megawati). Penentuan cawapres akan dilakukan setelah pelaksanaan pileg 9 April 2014,yang berarti menunggu bagaimana peta perolehan suara ke-12 parpol . Dengan mengetahui petanya, PDI Perjuangan akan membuat kebijakan apakah capres / cawapres dari intern jika elektabilitas mencapai lebih dari 20% atau harus berkoalisi dengan parpol lain jika memang diperlukan.

Dengan tidak adanya cawapres dalam deklarasi ini tentu permainan demokrasi di Indonesia dalam pemilu kali ini sungguh cantik, kenapa? Muncul peluang partai lain diluar PDI Perjuangan untuk berlomba-lomba mencarikan cawapres dari partainya, siapa tahu ada politisinya yang diandalkan yang cocok untuk mendampingi Jokowi dan kelak membangun koalisi. Sebuah perlombaan politik yang mempesona, bersaing untuk menjadi orang kedua di negeri ini. Parpol nasionalis maupun parpol religious diberi peluang sama untuk mendedikasikan politisi andalannya untuk duduk memimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia selama 5 tahun kedepan.

Akan halnya parpol-papol yang sudah mendklarasikan capresnya sendiritentu belum sepenuhnya yakin akan berhasil mecapai presidential threshold (PT)20% mengingat yang dilawan adalah Jokowi dan PDI Perjuangan yang terus menerus memimpin survey elektabilitas. Bahkan dalam survey #Poltracking Koran Tempo tanggal 19 Maret 2014, tidak tanggung-tanggung elektabilitas PDI Perjuangan 35,8% sebuah capaian yang tidak bisa diremehkan oleh ke-11 parpol lainnya. Sementara parpol-parpol yang sadar tidak mungkin mencapai PT 20% sudah berkali-kali menawarkan untuk siap diajak berkoalisi seperti Nasdem, PPP, PKB, PBB dan ada pula parpol yang masih malu-malu tapi mau seperti Demokrat, PKS, PAN dan ada yang rada gede rasa seperti Golkar, Gerindra, Hanura yang yakin mampu meloloskan capres / cawapresnya sehingga tidak butuh menawarkan kepada PDI Perjuangan.

Cawapres dengan Kualifikasi Elektabilitas dan Kapabilitas

Lalu bagaimana kualifikasi cawapres yang layak mendampingi Jokowi kelak? Dalam analisa saya tentang cawapres, saya menekankan pentingnya “elektabilitas” dan “capabilitas”. Dua aspek tersebut adalah kulifikasi utama untuk menyukseskan pemerintahan 5 tahun kedepan, popularitas memang penting, tetapi tanpa kepemilikan kapabilitas cuma akan megulang perjalanan bangsa ini dalam 5 tahun terakhir, sebuah kondisi politik yang penuh dengan kekisruhan, pertikaian, membuat jalannya pembangunan menjadi tidak lancar karena kepemimpinan negara yang tidak kapabel.

Dalam aspek elektabilitas, ini penting guna mendongkrak perolehan suara baik terhadap parpolnya maupun poltisinya sehingga kelak bias mengokohkan posisinya di parlemen guna menstabilkan pemerintahan. Sebuah koalisi ideal jika pemerintahan cuma menggandeng 1-2 parpol sehingga memudahkan koordinasi dan komunikasi antara anggota koalisi. Koalisi akan menjadi stabil jika 2-3 parpol yang bergabung mampu mencapai minimal 51% dari total kursi parlemen. Sementara koalisi gemuk seperti dalam Pemerintahan SBY yang menggandeng 6 parpol terasa lowbat karena tidak mudahnya melakukan koordinasi dan sinkronisasi, bahkan acap kali justru terjadi pertikaian sesama anggota koalisi, meskipun ini terjadi tak lepas dari lemahnya kepemimpinan SBY selaku ketua Sekretariat Gabungan (Setgab).

Sedangkan aspek kapabilitas terkait dengan kemampuan politisi ybs untuk menjadikan pemerintahan pusat memilih “ruh” yang kuat yang mampu menjadikan pemimpin atau presiden sebagai suri tauladan sekaligus solusi terakhir berbagai problem yang dihadapi bangsa dan Negara Indonesia 5 tahun kedepan. Kenapa kapabilitas? Karena seorang politisi memiliki sifat “bersih” bebas korupsi tidak cukup, “tegas” saja juga tidak cukup, sedangkan dengan modal kapabilitas maka tugas sebagai tranformator demokrasi Indonesia akan berjalan dengan smooth, tentunya dia seorang yang memiliki sifat bersih, tegas, berdaulat, dan memiliki visi kepemimpinan bangsa kedepan, mampu merombak budaya bangsa yang kini terasa memble, mampu menciptakan organisasi kelembagaan negara menjadi lebih solid dan professional. Dalam aspek kapabilitas juga memiliki kemampuan menjaga hubungan baik dengan banyak pihak baik nasional maupun internasional.

Seseorang yang memiliki kapabilitas kepemimpinan tidak akan mudah tergoda melakukan hal-hal yang kerenyeh, teknis, yang berada diluar kepentingan bangsa dan negara. Juga tidak mudah digoda dengan permainan media yang suka mengadu domba antara atasan bawahan sebagaimana selama ini sering terjadi di lingkungan pemerintahan Indonesia.

Karakter Loyo Capres / Cawapres

Banyak tokoh yang popular yang sering dikatakan layak menjadi capres maupun cawapres, namun menurut analisa saya sangat sedikit diantara mereka yang memiliki “leadership capability”. Politisi yang muncul masih dalam kategori popular, tapi belum memiliki pengalaman maupun gagasan yang matang yang bias diterapkan untuk transformasi pembangunan demokrasi kedepan. Mereka yang diunggulkan kebanyakan belum memiliki karakter kepemimpinan yang kuat, mudah terombang-ambing, dan bahkan cuma haus popularitas tapi takut hadapi realita masyarakat yang resisten atas perubahan yang bias menjadikan pemimpin tidak popular.

Dari sekian banyak capres / cawapres Indonesia yang ada sekarang sebagian besar masih jauh dari kulifikasi yang dibutuhkan Indonesia yang sedang melakoni tranformasi demokrasi. Oke bias dikatakan tak ada gading yang tak retak, tapi kalau retaknya kebangetan tentu tak memiliki banyak “value added” yang diharapkan untuk mencapai tujuan negara dan bangsa Indonesia.

Bersambung…………..

Salam,

Agus - Semarang

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun