***
Buruh pemberani itu, Choirul Mahpuduah. Karib disapa Irul. Perempuan 49 tahun. Pasca di-PHK, ia tak punya penghasilan tetap. Beberapa bulan, ia  menerima tawaran pekerjaan sementara di LSM perburuhan di Surabaya. Pekerjaannya mengkliping berita di media cetak.
"Tiap hari, aku baca koran, majalah, tabloid. Kebutulan di kantor LSM itu abonemen (berlangganan) banyak. Berita yang berhubungan dengan buru saya kliping," ujar dia.  Â
Di tengah akitivitasnya, Irul menyempatkan mengkliping artikel resep-resep kuliner. Â Jumlahnya gak kehitung. Banyak sekali. Di rumah, Irul mencoba mempraktikkannya. Takaran, komposisi, bahan, dan seterusnya. Ada yang jadi, tapi tak sedikit yang gagal.
Suatu hari, ia melihat lima perempuan membuat kue dan menjualnya sendiri di kampungnya, Rungkur Lor. Jualannya begitu-begitu saja. Laku, tapi kapasitasnya kecil . Yang gak laku dimakan sendiri, kadang juga diberikan tetangganya.
Yang bikin sedih lagi, Irul tahu penjual kue dan tetangganya lain banyak terlilit bank thitil alias rentenir. Mereka kerap kucing-kucingan, ketakukan lantaran ditagih bayar cicilan. Â
Irul kepikiran untuk mengajak mereka berusaha bersama. Membuat komunitas berusaha dengan semanat gotong royong. Tidak lagi terjetrat urusan riba'.Â
Irul lantas mengumpulkan produk-produk untuk dijual di kampungnya. Jika sebelumnya jualan di rumah masing-masing, Irul menggantinya dengan membuka lapak di tengah gang.
Setelah berjalan, Irul mengajak membuka koperasi. Tujuannya agar lepas dari rentenir. Aturan mainnya juga terang. Dan, jika ada laba bisa dibagi bersama. Lamat tapi pasti, aktivitas jualan kue makin membesar. Dari lima orang kemudian berkembang jadi belasan, hingga 70 orang. Â Â Â
"Kami akhirnya sepakat memberikan nama Kampung Kue. Nama yang mudah diingat. Alhamdulillah, selain jualan ada saja yang pesan. Dari warga sekitar maupun lain kecamatan," katanya.
Tiap hari, mulai jam dua dinihari sampai jam tujuh pagi, warga menggelar dagangannya. Yang beli berjubel. Ada yang dari Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo.