Namanya Adrian, mahasiswa Semester V di salah satu perguruan tinggi negeri di Makassar. Ia memang tidak dikenal sebagai salah seorang aktivis kampus yang berpengaruh karena kiprahnya di organisasi masih sebatas Himpunan Mahasiswa Jurusan. Ia pun mengikuti aksi di gedung DPRD Sulawesi Selatan (Sulsel) karena solidaritas sesama mahasiswa, apalagi aksi ini melibatkan seratusan mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Makassar. Motivasi lainnya adalah kekecewaannya terhadap pemerintah Provinsi yang ditengarai oleh massa aksi melakukan penyimpangan penggunaan anggaran.
Hari pertama aksi, siang hingga malam semua berjalan lancar. Mereka orasi di depan tangga utama gedung wakil rakyat. Secara bergantian perwakilan perguruan tinggi dengan warna jas berbeda tampil berorasi di dekat tiang bendera Merah Putih. Sementara itu seratusan mahasiswa duduk rapi di tangga utama. Beberapa puluh personil kepolisian tidak berpakaian anti huru-hara dan tanpa senjata di tangan berdiri di belakang mereka. Sebagian berdiri di sekitar gerbang masuk.
Main Domino Bersama Aparat
Jenuh duduk, Adrian mencoba berdiri sehingga posisinya membelakangi petugas kepolisian. Tiba-tiba ia mendengar seperti ada suara dari arah belakang yang memanggil namanya. Spontan ia berbalik. Ternyata di antara polisi berseragam itu ada kakak kelasnya dulu di SMA. Adrian lantas mendekati dan menyapanya. Mereka bersalaman hangat sembari menanyakan kabar masing-masing. Sejak pisah di SMA, ini baru pertama mereka bertemu sejak tamat. Sebelum mengakhiri pembicaraan mereka, seniornya itu menerangkan bahwa pos pengamanan mereka terletak di samping gedung utama, tepatnya di salah satu ruangan yang tidak dipergunakan. Adrian diminta jalan-jalan ke sana sebentar malam. Saking asyiknya mereka bercengkerama hingga tak terasa orasi beberapa tokoh mahasiswa telah berakhir.
Menjelang senja, mahasiswa yang bertahan di gedung parlemen tersisa 40-an orang. Mereka bertahan di teras depan tepatnya di depan pintu utama. Ada yang duduk bercengkerama, ada pula yang berbaring dengan menggunakan alas jas almamater mereka. Beberapa mencoba masuk jika tidak tahan dengan dinginnya cuaca di luar gedung. Beberapa lainnya berkumpul di tangga mengikuti alunan lagu-lagu perjuangan ala Iwan Fals yang dilantunkan oleh salah satu band kampus. Adrian tergerak bergabung dengan mereka karena suara vokalisnya yang sangat mirip dengan suara asli Sang Legend pencipta lagu "Wakil Rakyat".
Puas bernyanyi, mereka mencoba berbaring di teras untuk melewatkan malam. Adrian bergerak ke samping menuju pos pengamanan yang dimaksudkan oleh seniornya. Ternyata benar, seniornya ini ada di antara beberapa personil kepolisian yang terlihat sedang main domino. Adrian lantas diminta ikut bermain menggantikan salah seorang personil. Saat menjelang tengah malam, Adrian kembali bergabung dengan teman-temannya sesama demonstran.
"Meminjam" Ruang Rapat Dewan
Saat pagi beranjak siang, perlahan kembali berdatangan puluhan hingga seratusan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Agenda hari ini adalah dialog dengan anggota dewan terhormat. Permintaan demonstran diterima, tetapi sifatnya hanya perwakilan perguruan tinggi. Entah apa hasil pembicaraan mereka, yang jelas kordinator aksi justru mengusulkan hal "nyeleneh" yaitu "meminjam" ruang rapat dewan. Ternyata anggota dewan tidak berusaha menghalangi. Adrian termasuk demonstran yang mendapat kesempatan duduk di salah satu kursi anggota DPRD. Sementara itu, kordinator aksi dari beberapa perguruan tinggi duduk di kursi pimpinan. Mereka pun menggelar "sidang". Beberapa tampak mempermainkan mikropon di depan mereka masing-masing. Hasil kesepakatan mereka adalah untuk sementara "memecat" para anggota dewan karena tidak mendengar tuntutan mereka untuk memanggil Gubernur yang menjabat saat itu terkait dugaan penyalahgunaan anggaran.
Aksi Premanisme
Penguasaan demonstran hingga hari ketiga di gedung DPRD Sulsel, membuat anggota dewan tidak berani datang berkantor, apalagi mereka sudah "dipecat" berdasarkan "sidang" dewan mahasiswa. Meski demikian, tidak ada tindakan represif dari aparat, sehingga puluhan mahasiswa tetap bertahan. Mereka tetap menjadikan teras di pintu masuk ruang kerja dewan sebagai "posko" utama sekaligus memastikan tidak ada anggota dewan yang masuk ke ruang kerjanya.