Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menangkap Pesan dari "Gonjang-ganjing" RUU HIP

4 Juli 2020   09:09 Diperbarui: 4 Juli 2020   09:07 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jumat malam (4 Juli 2020), Pengurus Pusat Lingkar Dakwah Mahasiswa Indonesia (LIDMI) menyelenggarakan webinar Simposium Nasional Pancasila. Simposium yang "dihadiri" oleh hampir 500 peserta ini mengusung tema "Peran Anak Bangsa dalam Menjaga Falsafah dan Ideologi Pancasila."

Selaku nara sumber beberapa tokoh bangsa  yaitu Prof. Din Syamsuddin, Komjen Pol (Purn.) Syafruddin, Dr. K. H. Muhammad Zaitun Rasmin, Dr. Jeje Zaenuddin, Prof. K. H. Muhammad Cholil Nafis, dan pakar hukum Dr. Fachri Bachmid. Selaku moderator adalah Asrullah, S.H (Ketua Departemen Humas dan Jaringan PP-LIDMI).

Secara umum semua nara sumber memberikan penekanan pentingnya menjaga Pancasila sebagai ideologi negara, sekaligus mengingatkan bahwa Pancasila adalah warisan berharga dari umat Islam.  Kesediaan pemimpin-pemimpin Islam mencoret tujuh kata di belakang "Ketuhanan" dalam Piagam Jakarta dan menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa" pada Pancasila adalah sebuah bentuk toleransi, sekaligus pengorbanan yang teramat besar. Sehubungan dengan hal di atas, para nara sumber menekankan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama.

Dengan demikian, menyimak sejarah ideologi negara, sejak 1 Juni, 22 Juni hingga 18 Agustus 1945, bahkan hingga ke Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Pancasila ibarat sebuah tenunan yang ditenun dalam waktu yang begitu lama. Tenunan yang sudah dianyam sedemikian rupa dengan susah payah. Membutuhkan pengorbanan, keuletan dan kesabaran yang luar biasa. Karena itu Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) diumpamakan sebagai upaya mengurai kembali tenunan yang telah terjalin rapi.

Hal unik lain yang tersaji dalam webinar PP-LIDMI tersebut adalah bahwa di balik "mudharat" yang dibawa oleh RUU HIP, masih ada "manfaat" yang dapat dipetik. Hal ini ditekankan oleh Dr. K. H. Muhammad Zaitun Rasmin, Lc. M.A (Wasekjen MUI yang sekaligus Ketua Ulama dan Dai Asia Tenggara dan Ketua Umum Wahdah Islamiyah). Ia menjelaskan beberapa manfaat dari gonjang-ganjing RUU HIP. Di antara manfaat tersebut yaitu anak-anak muda berkesempatan mempelajari kembali sejarah Pancasila.

Kemudian kita menjadi lebih faham dengan sila-sila Pancasila. Begitu juga tampilnya para ustadz, ulama dan pesantren ramai-ramai berbicara Pancasila menjadi bukti bahwa tuduhan mereka radikal dan anti NKRI adalah tidak benar. Manfaat lainnya adalah meningkatkan kewaspadaan kita akan bangkitnya ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, terutama Komunisme.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun