Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

"Devide et Impera" di Era Milenial

30 April 2018   05:01 Diperbarui: 30 April 2018   19:00 4707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
persekusi di CFD: Youtube.com/Jakartanicus

Sejarah dalam suatu negara bisa menjadi satu versi atas nama negara atau penguasa negara pada suatu masa.

Ketika masih duduk di bangku SD sampai SMA, saya percaya pada sejarah yang mengatakan bahwa Belanda berhasil menguasai Nusantara dengan strategi memecah-belah bangsa Indonesia (devide et impera).

Tetapi, ketika kuliah hingga sekarang, saya tidak percaya lagi. Realitas yang tidak pernah tertulis sebagai kebenaran adalah kecenderungan sebagian orang Indonesia memang mudah mengadu dirinya sendiri, entah dengan alasan apa.

Tawuran antarpelajar, mahasiswa atau pemuda bukanlah berita baru sejak era internet berlari kencang. Saya menyaksikan itu di depan mata saya sendiri sebelum televisi berwarna-warni!

Hingga tragedi CFD tadi, selain 'perang hujatan' di media sosial! Bukankah Belanda sudah lama pulang kampung? Masihkah pantas menyebut Belanda sebagai biang kerok devide et impera?

Oh, saya tidak pernah percaya lagi. Sebaliknya, seperti yang saya katakan, kecenderungan sebagian orang Indonesia memang mudah mengadu dirinya sendiri, entah dengan alasan apa.


Saya justru membayangkan, orang-orang pra-Indonesia alias zaman kolonialisasi Belanda memang mudah bertarung dengan sesamanya. Kerajaan melawan kerajaan, dan rakyat berperang tanpa memahami hakikat kehidupan selain kepatuhan bahkan pemujaan terhadap sosok raja (penguasa) sebagai bakti kepada "Sesuatu" yang disembah.

Belum lagi dalam lingkup kecil, yaitu keluarga. Antaranggota keluarga pun bisa berkelahi, apalagi jika sudah mengangkut urusan warisan keluarga. Saya sudah menyaksikan dan mengalami hal yang berlingkup kecil itu. 

Dan, kali ini adalah alasan politik yang sama sekali tidak dipahami secara benar dan dalam oleh sebagian orang Indonesia sendiri. Sungguh memilukannya realitas situasi sosial-politik ini.

Demikian sajalah. Maaf, saya tidak mampu melanjutkan. Biar Dilan saja.

*******

Panggung Renung -- Balikpapan, 30 April 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun