Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ditempa dalam Api: Makna Seleksi Panggilan, Refleksi II Pendidikan Seminari

15 Mei 2025   06:53 Diperbarui: 15 Mei 2025   06:53 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Refleksi Pendidikan Seminari (Dokumentasi Pribadi)

Api tidak hanya membakar, tetapi juga memurnikan, sebagaimana emas dilebur dalam bara untuk menyingkapkan kemurniannya. Demikian pula, panggilan hidup tidak lahir dari kenyamanan, melainkan dari ujian yang menghanguskan ego dan menyingkap ketulusan hati. Seminari, dengan disiplin dan seleksinya, adalah tungku pemurnian yang menguji kesiapan calon imam, bukan sekadar gerbang eliminasi. Seleksi ini bukan vonis, melainkan perjalanan batin yang membentuk karakter dan menyaring kemurnian niat. Tuhan tidak mencari yang sempurna, tetapi yang rela ditempa; mereka yang bertahan bukanlah yang terkuat secara lahiriah, melainkan yang telah menemukan suara hatinya dalam hening dan berani berjalan dalam cahaya panggilan sejati.

Seleksi di Seminari: Lebih dari Sekadar Eliminasi  

Seperti seorang pandai besi yang tidak serta-merta menempa besi menjadi pedang tajam, demikian pula perjalanan seorang calon imam tidak berlangsung dalam sekejap. Ia melewati tahap demi tahap, dari percikan api awal hingga nyala yang membara, dari ketukan pertama palu hingga bilah yang mengilap. Seleksi di Seminari adalah perjalanan panjang yang berjenjang---bukan sekadar penyaringan, tetapi pembentukan. 

Seorang calon memulai langkahnya dari gerbang perekrutan, di mana benih panggilan mulai diuji dalam Kelas Persiapan Bawah (KPB). Di sana, ia belajar mengenali dasar-dasar intelektual dan spiritual yang menjadi fondasi hidupnya kelak. Jika lolos dari tahap ini, ia melangkah ke Seminari Menengah, tempat disiplin akademik dan formasi karakter ditempa lebih dalam. Namun, perjalanan tidak berhenti di sana. Masih ada Tahun Rohani atau Novisiat, masa hening yang mengundang para calon untuk menenggelamkan diri dalam doa dan permenungan: apakah hati mereka benar-benar terarah pada panggilan ini? 

Mereka yang memilih melanjutkan dipersiapkan lebih matang dalam Seminari Tinggi, menempuh filsafat dan teologi, sekaligus mengalami pasang surut kehidupan panggilan. Di sini, api seleksi semakin menyala. Sebelum menerima tahbisan, mereka harus turun ke ladang pastoral, menyentuh realitas umat, dan bertanya dalam keheningan: "Apakah ini benar-benar jalanku?" Sebab tahbisan bukanlah akhir perjalanan, melainkan awal dari sebuah pengabdian seumur hidup. 

Seleksi yang berjenjang ini bukan sekadar penyusutan jumlah, melainkan pemurnian. Setiap tahap mengundang para calon untuk bercermin pada jiwanya sendiri: "Apakah aku cukup siap, tidak hanya secara akademik, tetapi juga secara mental dan spiritual?" Mereka yang bertahan bukan sekadar yang pintar atau disiplin, tetapi yang benar-benar telah menyatu dengan panggilannya. 

Hendaknya tidak boleh dilupakan, seleksi bukanlah gerbang penolakan, melainkan jalan refleksi. Ia bukan sekadar pertanyaan yang diajukan Seminari kepada para calon, tetapi pertanyaan yang harus dijawab oleh setiap hati yang melangkah di jalur ini: "Apakah aku benar-benar dipanggil? Jika ya, bersediakah aku ditempa dalam api, hingga hanya tersisa kemurnian hati yang siap diutus?"

Seleksi sebagai Proses Pemurnian Diri  

Api tidak pernah menghanguskan emas, ia hanya membakar kotoran yang melekat, meninggalkan kilau yang sejati. Begitu pula seleksi di Seminari: bukan untuk menggugurkan, melainkan memurnikan. Setiap tahapan yang harus dilalui seorang calon imam bukanlah serangkaian rintangan yang dimaksudkan untuk menyingkirkan mereka yang lemah, melainkan sebuah perjalanan menuju jati diri yang utuh: sebuah penyaringan, agar yang tersisa bukan ambisi, bukan sekadar keinginan, melainkan panggilan yang benar-benar tulus. 

Dari hari pertama menginjakkan kaki di Seminari, seorang calon akan segera menyadari bahwa panggilan bukan sekadar tentang mengenakan jubah atau menyampaikan homili. Ia ditantang untuk bertanya kepada dirinya sendiri: "Apakah aku siap menjalani hidup yang diberikan sepenuhnya kepada Tuhan dan sesama?" Jawaban itu tidak datang dalam semalam. Ia ditempa melalui ketekunan dalam studi akademik, keheningan dalam doa, kedalaman dalam keterlibatan pastoral, serta dinamika hidup komunitas yang penuh gesekan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun